UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Hadirkan Lukman Hakim Syaifuddin Menggali Esensi Moderasi Beragama

Menteri Agama Republik Indonesia Periode 2014-2019 Lukman Hakim Syaifuddin hadir sebagai Narasumber dalam Kegiatan Training of Trainers (ToT) Penguatan Moderasi Beragama yang digelar di Platinum Hotel, Yogyakarta. Beliau hadir pada hari ke-3 kegiatan, Sabtu (26/10/2024), menyapa para peserta yang terdiri atas 30 Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dari berbagai fakultas.

Mengawali paparannya, Penulis buku “Moderasi Beragama” tersebut menyinggung definisi guru yang dalam konteks konvensional cenderung bersifat hirarkis. Dalam model ini, guru sering kali menempatkan dirinya di posisi atas, berlandaskan pada pengetahuan, pengalaman, dan keahlian yang dimilikinya, sementara murid diposisikan di bawah karena tujuannya untuk menimba ilmu. Sebaliknya dalam pendekatan andragogi, struktur hirarkis tersebut berusaha diubah menjadi lebih setara dengan mempertimbangkan bahwa peserta didik adalah individu dewasa yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman masing-masing. Oleh karena itu, dalam proses pelatihan, fasilitator dan peserta berperan setara, memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan dan pengalaman.

Selanjutnya, sosok yang lebih akrab disapa LHS tersebut mengajak peserta diskusi untuk mengeksplorasi berbagai permasalahan yang masih mengemuka terkait moderasi beragama yang berfokus pada masalah riil yang mencakup aspek konsepsi, paradigma, latar belakang, dan implementasi moderasi beragama. Para peserta dengan antusias mengemukakan berbagai pendapat maupun pertanyaan terkait moderasi beragama, seperti penawaran strategi kontra naratif, sikap moderasi beragama dalam menetralisir ekstrem kanan, landasan teologis agama-agama di Indonesia sebagai dasar Moderasi Beragama. Peta jalan Moderasi Beragama, pola relasi 3 aktor besar keagamaan dalam kiprah Moderasi Beragama, serta sikap meoderasi beragama dalam menyikap LBGT.

Mantan Wakil MPR tersebut juga menekankan bahwa dalam istilah “Moderasi Beragama” bukanlah agama yang dimoderasi, melainkan “Beragama”, yang lebih merujuk pada pemahaman dan pengamalan agama oleh penganutnya. Dalam konteks ini, setiap agama diyakini sebagai kebenaran oleh para pemeluknya, karena berasal dari sumber yang Maha Benar. “Prinsip moderasi berlandaskan pada keadilan dan keseimbangan. Oleh karena itu, moderasi dapat dipahami sebagai suatu proses yang bertujuan untuk mencapai sikap moderat, yang berlawanan dengan ekstrem” ungkapnya.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa ekstremisme memiliki dua unsur, yaitu berlebih-lebihan dan melampaui batas, yang keduanya berujung pada konsekuensi negatif. Ia juga mengklasifikasikan ajaran agama ke dalam dua kategori. Pertama, ajaran universal atau inti, yang merupakan nilai-nilai fundamental yang diyakini sebagai sumber kebenaran oleh seluruh masyarakat global tanpa terkecuali, seperti kasih sayang. Kedua, ajaran agama partikular atau furuiyyah, yang mencakup cabang-cabang ajaran yang tidak selalu diakui sebagai kebenaran oleh semua manusia, bahkan oleh penganut agama yang sama. “Suatu ajaran dikatakan ekstrem, ketika pemahaman dan amalan beragama tersebut mencidrai ajaran universal. Sementara terhadap yang partikukar cukup dilakukan dengan toleransi, yakni kemauan dan kemampuan untuk menghargai perbedaan, bahkan dalam level yang lebih tinggi membantu dan bekerja sama” tegasnya.

LHS juga mengungkapkan bahwa istilah ekstremis muncul sebagai akibat dari perbedaan dalam memahami teks dan konteks. Salah satu faktor yang melatarbelakangi munculnya ekstrem kanan adalah sikap tekstualis yang berlebihan, di mana konteks yang melatarbelakangi teks diabaikan, sehingga menyebabkan pelanggaran terhadap ajaran universal. Seseorang dapat dianggap ekstrem ketika ia mengkafirkan, menyalahkan, dan memaksa orang lain untuk mengikuti pandangannya,. “Implementasi ajaran agama dapat beragam, tetapi terhadap yang inti tidak boleh diingkari” tegasnya. Sementara itu, ekstremisme yang kedua adalah yang medewakan nalar, di mana interpretasi teks dilakukan secara longgar dan bebas tanpa batas.

LHS lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat dua ruang dalam beragama. Pertama, ruang internum yang bersifat Imani dan personal, di mana penganut agama diharuskan meyakini kebenaran ajarannya secara mendalam, sehingga fanatisme dan kesungguhan dalam beragama menjadi penting. Kedua, ruang eksternum yang merupakan ruang sosial, di mana keberagaman adalah sunatullah. Di sini, sikap moderat dan toleransi diperlukan agar interaksi antarindividu dan antarumat beragama berlangsung harmonis.

Menurutnya, perjuangan untuk membumikan moderasi beragama adalah sebuah perjalanan tanpa akhir, karena selalu dihadapkan dengan ketidakpastian dan problem yang terus berganti. Perlu diingat bersama, bahwa agama bukan lahir sebagai problem, tetapi lahir sebagai solusi.

Di penghujung pertemuan, LHS menutup acara dengan penandatanganan buku, "Moderasi Beragama” yang ditulisnya. Buku tersebut diharapkan menjadi lentera bagi penganut agama dan warga negara, agar dapat berinterkasi dengan penuh harmoni dan saling mengerti. (tim humas)