Konflik Palestina-Israel dalam Kaca Mata Akademik
Seminar Nasional diselenggarakan secara daring melalui platform zoom
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga melalui konsentrasi Kajian Timur Tengah (KTT), Pusat Studi Center for Islamic Thoughts and Muslim Societies (CITMS), dan Center for Developing Cooperation and International Affairs (CDCIA) menyelenggarakan Seminar Nasional: “Masa Depan Palestina: Eksistensi, Diplomasi dan Advokasi”di Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Senin (31/05/21)
Seminar ini dipandu oleh moderator Dr. Muh Mufid dari CITMS dan menghadirkan narasumber, yakniProf. Dr. Phil., Al Makin, M.A., (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), H.E. Drs. H. Hajriyanto Y. Thohari, M.A, (Dubes RI untuk Lebanon), H.E. Hj. Syafira Rosa Makhrusah, (Dubes RI untuk Aljazair 2016 – 2020 dan Pengurus MUI Hubungan Luar Negeri), Prof. Dr. H. Syihabuddin Qalyubi,(Guru Besar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), sertaDr. Hj. Ruhaini Dzuhayatin, M.A., (Tenaga Ahli Utama Kantor Staff Kepresidenan RI (2020-2024).
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, S.Ag., M.Ag., dalam sambutannyamengatakan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan situasi kekinian konflik Palestina-Israel dalam kaca mata akademik dan pengalaman diplomasi internasional tentang Palestina dan masa depannya. Seminar ini juga bertujuan untuk meneguhkan peran institusi Pendidikan tinggi Islam, khususnya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam memberikan alternatif penyelesaian persoalan dunia berdasar pada wawasan keilmuan dan keislaman.
Menyikapi konflik Israel-Palestina, Rektor UIN Sunan Kalijaga menyampaikanbahwa pemahaman mengenai hal ini tidak dapat hanya dipandang semata-mata karena faktor teologis (agama), tetapi juga faktor lain, seperti hak asasi manusia, rasial, sosial, politik dan ekonomi. Mengingat saat ini isu konflik Palestina dan Israel telah menjadi isu politik di Indonesia, maka Indonesia harus meningkatkan perannya untuk memberikan dukungan dan bantuan serta menggalang solidaritas untuk mencapai perdamaian dan kemerdekaan Palestina.
Sementara itu, Dubes RI untuk Lebanon, H.E. Hajriyanto Thohari memberikan perspektif antropologis untuk memahami konflik yang terjadi di wilayah ini. Berdasarkan sejarahnya bangsa Palestina, menurut Hajriyanto, adalah bangsa Arab musta’ribah, yaitu bangsa yang menjadi Arab karena proses Arabisasi. Proses Arabisasi ini dimulai melalui Bahasa Arab, yang kemudian menyatukan mereka sebagai Bangsa Arab. Konsekuensinya, negara Arab adalah negara yang sangat majemuk, baik dari sisi agama dan ideologi. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, Dubes Hajriyanto mengusulkan agar Indonesia meningkatkan peran-peran diplomatis di Majelis Umum PBB.
Baca Juga : IOP IAIN Kediri Kerja Sama dengan CDCIA UIN Suka
Dalam pemaparannya, Dr. Ruhaini juga menjelaskan peran-peran yang telah dilakukan oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam konflik Israel-Palestina. Ruhaini menyampaikan kompleksitas konflik yang disebabkan karena ketegangan di wilayah Timur-Tengah baik secara multilateral, unilateral, dan bilateral. Dilema konflik ini makin kompleks karena secara internal, baik di Israel maupun Palestina, pertentangan mengenai konsep negara (two state vs one state) masih terus terjadi. Oleh karena itu, Ruhaini mendorong agar Indonesia untuk memainkan peran yang lebih strategis karena Indonesia memiliki modal yang penting, misalnya reputasi, posisi netral, negar muslim terbesar, dan pengalaman di ASEAN. Ruhaini pun mengusulkan agar isu genosida dan ekosida (penghilangan fertilitas tanah di Wilayah tepi barat) diakui sebagai isu pelanggaran HAM berat.
Dubes Indonesia untuk Aljazair (2016-2020), H.E. Shafira Makhrusah merekomendasikan untuk tetap mendukung kemerdekaan Palestina dengan cara damai(non-perang) atau diplomasi. Selain itu juga untuk Palestina tidak bergantung lagi dengan negara-negara Arab, karena hal tersebut justru akan semakin menyengsarakan daerah Palestina itu sendiri.
Selanjutnya, Prof. Syihabuddin Qalyubi mengatakan bahwa untuk masa depan Palestina beliau setuju dengan pendapat Almarhum Gus Dur. Tindakan militeristik yang selama ini diusung oleh Palestina merupakan “umpan balik” yang sia-sia dalam menghalau hegemoni Israel, maka dari itu, sesegera mungkin tindakan itu harus dihentikan. Mereka yang mempunyai ideologi kekerasan dalam memandang Israel tentu akan menemui serangan balik yang dua bahkan tiga kali lebih hebat dari Israel. Dalam penggalangan perdamaian di Timur Tengah, menurut Gus Dur, perlu adanya kerjasama internasional. Selain mengadakan konsolidasi negara-negara Adidaya penting baginegara-negara Arab berpartisipasi untuk memenuhi kepentingan Palestina. Di samping itu kontribusinya untuk upaya rekonstruksi dasar-dasar ekonomi politik Palestina, berupa bantuan keuangan menggunakan jalan kredit murah berjangka panjang. Dengan cara ini diharap dapat memacu laju perekonomian dan perindustrian yang tentu didampingi dengan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Mengetahui secara komprehensif kompleksitas persoalan Israel-Palestina adalah bekal yang penting dan membutuhkan perjuangan yang besar. Beberapa hal yang dapat dilakukan, misalnya dengan meningkatkan diplomasi, kerjasama dan hubungan multilateral yang melingkupi persoalan ini. Selain itu, menarasikan apa yang dilakukan oleh Isreal sebagai bentuk ‘penjajahan’ adalah hal krusial. Dengan demikian, Palestina harus mendapatkan perhatian yang selayaknya, karena kepedulian kita pada palestina sangat penting, untuk menjaga eksistensi Palestina, ujar moderator mengakhiri acara Seminar Nasional. (Nurul)
Baca Juga : Sebarkan Perdamaian Lewat Pendidikan