VIRUS KORONA DAN KEGAGAPAN TEOLOGIS

Oleh: Fathorrahman Ghufron (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-Wakil Katib Syuriyah PBNU Yogyakarta)

Tulisan ini dimuat di SKH. Kompas edisi 28/3/2020.

Pada tanggal 16 Maret 2020, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mengeluarkan fatwa tentang tata kelola penyelenggaraan ibadah dalam situasi Korona. Bagi wilayah yang sebaran virus korona sangat menghawatirkan maka, boleh tidak melaksanakan shalat jumat dan kegiatan ibadah lainnya secara berjamaah. Sedangkan orang yang sudah positif korona, wajib hukumnya mengisolasi diri dan haram baginya untuk beribadah secara berjamaah atau jumatan di Masjid atau Mushalla.

Jauh hari sebelum MUI, beberapa Negara Islam di Timur Tengah dan beberapa Negara lain sudah mengeluarkan fatwa penggantian shalat jumat ke shalat dhuhur dan meniadakan ibadah massal lainnya. Bahkan, di Kuwait ketika seorang muazzin melantunkan azan menyisipkan kalimat “shallu fi rihalikum” (shalat lah di rumah kalian) sebelum mengakhiri adzannya. Tak terkecuali Arab Saudi benar-benar mensterilisasi dua masjid haramain dan mengeluarkan fatwa keringanan tidak melakukan shalat jumat dan berjamaah di masjid.

Selain itu, pada tanggal 13 Maret 2020, Vatikan juga mengumumkan penutupan semua gereja katolik di seluruh Roma untuk mencegah sebaran virus korona yang sudah menewaskan ribuan orang di Italia. Efek dari seruan tersebut, ummat beriman dibebaskan dari kewajiban untuk melaksanakan aturan ibadah.

Menelikung Fatwa Agama

Di saat seruan massal yang dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara untuk merubah tata cara peribadatan yang menyesuaikan dengan kondisi darurat, dan dalam seruan tersebut tentu sudah diawali dengan proses ijtihad hukum yang matang, bahkan dalam prosesnya melibatkan pihak-pihak yang mempunyai pengetahuan agama yang mumpuni, namun di seberang sana muncul sekelompok orang yang justru menelikung fatwa agama dengan pandangan yang kontra-produktif.

Ada seorang gubernur yang menyerukan untuk tetap menyemarakkan shalat berjamaah di masjid. Ada pula seorang mantan jenderal yang mengatakan bahwa saat ini ada gerakan phobia Islam yang disisipkan dalam berbagai fatwa yang melarang beribadah di masjid. Maka, dia menganjurkan kepada ummat Islam agar tetap shalat di masjid. Bahkan, sekelompok jamaah tabligh menginisiasi ijtima’ ulama dunia di Gowa Sulawesi Selatan. Meskipun pemerintah sudah membatalkan rencana tersebut di detik akhir, namun kerumunan orang dari berbagai daerah dan luar negeri sudah terlanjur tiba di Gowa. Dampaknya, kerumunan massa yang berpotensi besar menjadi embrio sebaran dan paparan virus korona di kawasan Sulawesi Selatan tentu sangat meresahkan masyarakat.

Demikian pula umat Katolik yang baru-baru ini melaksanakan misa agung penahbisan Uskup Ruteng gr Siprianus Hormat di manggarai, NTT yang dihadiri ratusan keuskupan di Indonesia dan ribuan jamaat katolik di NTT. Padahal, beberapa hari sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah menghimbau untuk menunda kegiatan misa tersebut. Namun pihak keuskupan ruteng tetap melaksanakan dan membuat aturan misa yang ketat dan membatasi peserta bagi orang-orang yang sehat. Seakan-akan peringatan pemerintah bahwa setiap orang yang sehat sekalipun bisa terdampak korona, baik sebagai carrier (pembawa) maupun barrier (penghalang) tak diacuhkan dengan baik.

Tak terkecuali ummat Hindu yang akan melaksanakan peringatan Nyepi di Candi Prambanan. Bahkan, ibadah massal ini direncanakan menyambung dengan ibadah lain seperti upacara Melasti di Umbul Geneng, Klaten. Pihak penyelenggara yang tetap bersikukuh melaksanakan rangkaian ibadah massal seolah tak mau memahami kondisi sosiologis Negara ini yang begitu tinggi tingkat kerentanan sebaran virus korona. Bahkan, menurut analisis John Hopkins University and Medicine, Indonesia menempati level kedua setelah Itali sebagai Negara yang tingkat kematiannya sangat tinggi (5:9=5.20%).

Dari sekian sikap kepongahan sebagian tokoh publik dan sekelompok ummat beragama yang tak menyadari makna penting diterbitnya fatwa agama sebagai langkah pencegahan virus korona tentu akan menjadi parasit yang—gara-gara tidak taktis menjalankan ajaran agama—akan menimbulkan darurat yang lebih besar. Padahal, dalam kondisi darurat, sebagaimana dilansir dalam kaidah fiqh, “ad darurotu tubihul mahdzurat” (kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang).

Dalam konteks kedaruratan global ini, apa yang difatwakan oleh sejumlah Negara tentu bukan sedang menurunkan derajat kesalehan umat beragama dalam beribadah. Bukan pula sedang mendegradasi kemahakuasaan Tuhan sebagai Dzat yang paling ditakuti. Akan tetapi, meminjam ungkapan bijak Umar bin Khattab—ketika ditanya oleh sahabatnya yang bernama Abu Ubaydah mengapa tidak melanjutkan perjalanan ke Syam yang saat itu sedang dilanda wabah Ta’un—sesungguhnya pemerintah di sejumlah Negara sedang menjalankan takdir lain dengan cara menghindar sebuah kedaruratan untuk menyelamatkan rakyatnya.

Setidaknya, pemerintah di sejumlah Negara yang begitu sigap mencegah sebaran virus korona dengan program social distancing, lock down, maupun kebijakan isolasi diri dalam berbagai bentuk rupa, senafas dengan riwayat Nabi Muhammad yang berbunyi “jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti suatu negeri, maka jangan lah kalian menuju kesana. Namun jika dia menjangkiti suartu negeri dan kalin berada di dalamya, maka jangan lah kalian keluar dan lari darinya” (HR. Bukhari, Muslim, dan Malik Ahmad)

Lalu, ketika berbagai negara mengeluarkan fatwa yang isinya merujuk pada sejumlah kaidah fiqh, sirah nabi, dan berbagai ajaran agama yang mengajarkan sebuah kearifan menjalankan peribadatan secara objektif dan kesigapan menghadapi musibah, apakah kita masih mau menelikung fatwa agama tersebut hanya karena ingin menunjukkan diri kita berbeda?

Jangan-jangan apa yang dilakukan oleh sejumlah orang yang berwatak fatalis dalam beragama dan menganggap bahwa virus korona hanya sebuah makhluk yang tak patut ditakuti sedang dijangkit sebuah kegagapan teologis yang selalu menempatkan dirinya paling benar (truth claim) dan berupaya menyalahkan pihak lain dengan alibi yang tak mendasar.