Politik Otoritas Keagamaan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Moch. Nur. Ichwan

Prof. Dr. Moch. Nur Ichwan dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Sosial Politik Islam melalui sidang senat terbuka pada Kamis (30/5/2024) bertempat di Gedung Multipurpose UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berdasarkan SK Menetri Agama Republik Indonesia No. 119378/B.II/3/2023 tanggal 17 November 2023. Beliau menyampaikan pidato pengukuhannya dengan judul “Politik Otoritas Keagamaan: Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) 24 Tahun setelah Reformasi

Disampaikan bahwa minatnya dalam pengkajian ulama dan majelis ulama muncul pada 2003 saat masih menyandang status mahasiswa PhD di Tilburg University, saat mempersiapkan presentasi untuk seminar tentang fatwa yang diorganisasi oleh Michael Laffan dan Nico Kaptein di Leiden University, walaupun saat itu beliau mengkaji fatwa dan tausiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada masa awal reformasi. Paper konferensi ini kemudian terbit dengan judul “Ulama, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia after Suharto,” di jurnal Islamic Law and Society pada tahun 2025. Lalu, setelah pasca promosi doctoral pada November 2006 silam, sosok hebat kelahiran Ponorogo ini mendapatkan grant penelitian dari International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM), Belanda, untuk penelitian tentang MUI, melanjutkan temuan dalam artikel tersebut yang dikembangkan hasil risetnya dikembangkan menjadi proposal post-doc. Grant riset terakhir ini berasal dari KNAW dalam kerangka SPIN (Scientific Programme Indonesia-Netherlands) selama dua tahun, yakni tahun 2008 dan 2009Dalam menyelesaikan penelitiannya. Beliau dibimbing oleh Prof Martin van Bruinessen dan Prof Amin Abdullah untuk penelitian SPIN.

Menurutnya, pidato pengukuhan yang ditulisnya adalah bagian dari refleksi terkait dengan eksistensi dan peran Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh selama dua puluh enam tahun pasca reformasi. Sebagaimana kita ketahui MUI adalah lembaga ulama resmi- semi resmi – semi refresentasi juga. Dalam suatu fatwa conference di Jakarta Prof. Jimly Asshiddiqie mengusulkan MUI untuk dilabeli lembaga resmi nigari. Hal ini karena MUI mendapat bantuan dari pemerintah, menempati gedung terawat yang didanai pemerintah dan juga alasan penting yang lain. Saat itu justru Prof. Moch. Nur ichwan berpendapat lain, justru peran penting MUI adalah karena menjadi semi resmi dan semi refresentasi.

Berkaitan dengan hal itu, akademisi yang mengenyam PhD di negeri kincir angin ini membagi hubungan MUI dengan pemerintah pasca orde baru menjadi tiga, meliputi Periode Kelanjutan Kedekatan dengan Pemerintah, yakni tahun 1998 – 1999; Periode Berjarak dari Pemerintah, yakni tahun 2000-2019; Periode Kedekatan Kembali dengan Pemerintah, yakni tahun 2019 sampai sekarang. Pada Periode pertama ada yang disebut oleh Martin van Bruinessen sebagai tikungan konservatif dimana para tokoh tersebut dicurigai sebagai radikal dan masuk ke dalam jajaran kepemimpian MUI. Hal itu berpengaruh pada sejumlah fatwa yang dilahirkan seperti fatwa 10 kriteria aliran sesat dan fatwa kesesatan sejumlah kelompok keagamaan. Padahal masa kerja Presiden Jokowi dianggap berseberangan dengan pemerintah, terutama setelah 2019 yang disikapi dengan membuminya Moderasi Beragama yang dikembangkan oleh kementerian agama.

Pemilik award satyalancana karya satya tersebut melanjutnya bahwa meskipun demikian, hubungan MUI dengan pemerintah itu dinamis dan sangat dipengaruhi oleh proses politik, baik pada level negara maupun umat islam. Berilau mencatat beberapa hal dalam perkembangan dua puluh enam tahun setelah reformasi meliputi ekonomi syariah, MUI dan gerakan islamis, halalisasi, covid 19, dan isu global terutama mengenai konflik Israel dan Palestina.

Halalisasi adalah item yang beliau kupas. Menurutnya, tarik menarik isu halal antara MUI dan negara sudah terjadi sejak tahun 2002 pada era pemerintahan Megawati. Tetapi itu tidak berhasil sampai kemudian muncul Undang-Undang Jaminan Produk Halal No. 33 Tahun 2014 yang ini masih belum bisa memindahkan dari MUI kepada kemenetrian agama. Lalu dibentuk lembaga Jaminan Produk Halal PPJBH pada Oktober 2017, kemudian pada tahun 2022 dibentuk Komite Fatwa Produk Halal. Komite Fatwa ini mengatur penetapan kehalalan produk bagi pengajuan sertifikasi halal dengan mekanisme self declare. Adapun Komisi Fatwa MUI, hanya mengurus fatwa dari sertifikasi halal reguler (non-self declare). Namun, itu pun dengan ketentuan, proses fatwa tidak boleh melampaui batas waktu yang ditetapkan, yakni 3 hari kerja. Jika lebih dari itu, maka tugas penetapan fatwa itu diambil alih oleh Komite Fatwa Kementerian Agama. Di sini otoritas MUI dalam hal halalisasi mengalami kemunduran secara bertahap tapi signifikan.

Selanjutnya beliau mengupas Lebih lanjut mengenai Majelis Permusyawaran Ulama Aceh yang merupakan organisasi atau majelis ulama resmi di bawah negara pada level provinsi, kota, dan juga Kabupaten. Lembaga yang hanya ada di aceh, bagian dari kekhasan Aceh dalam menerapkan syariah islam. Melalui lebaga tersebut Aceh memperkenalkan suatu birokasi yang melibatkan ulama di dalam pemerintahan. Ulama memiliki peran dalam memberikan wawasan, saran, pertimbangan, bahkan teguran kepada lembaga pemerintah. Tetapi mekanisme tentang tatacara pemberian pertimbangan MPU baru dikeluarkan pada 2017, itu artinya selama 16 tahun sejak berdirinya MPU peraturan mengenai tata cara pemberian pertimbangan itu belum ada.

Ada beberapa hal yang beliau catat mengani perkembangan 26 tahun setelah reformasi, meliputi pemantapan aswaja yang menolak aliran aesat dan salafi wahabi, MPU dan covid 19, konflik Islael Palestina, serta MPU dan pemilu. MPU dihegemoni oleh pesantren tradisional. Hal ini disebabkan adanya peraturan tata tertib MPU tertulis bahwa diantara syarat anggota MPU mampu membaca dan memahami ajaran islam dari sumbernya yang asli, Dampak paling kentara dari hegemoni ulama dayah di MPU ini adalah kuatnya bias Ahlus Sunnah wal Jama’ah 26 Pidato Pengukuhan Guru Besar (Aswaja) dalam pengertian Syafi’iyah dalam fikih, Asy’ariyah and Maturidiyah dalam kalam, dan Junaid al-Baghdadi dan Al-Ghazali dalam tasawuf. Hal ini terefresentasi dengan setidaknya tujuh fatwa—selain fatwa-fatwa tentang beberapa kelompok agama yang dianggap sesat—yang terkait dengan Aswaja. Semua fatwa ini mengacu kepada pemahaman Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.

Dijelaskan lebih jauh, otoritas keagaam bersifat relasional tergandung dengan apa, siapa, dan seperti apa, sehingga sifatnya dapat berubah. Otoritas keagamaan berekasi, berinteraksi, berkontestasi, bernegosiasi, berkompromi, bekerjasma dengan otoritas politik dan atau otoritas saintifik seperti dalam aksus covid 19. Kadang dalam suatu arena tertentu otoritas keagamaan bersifat hegemoni atas otoritas politik dan saintifik, tetapi dalam arena yang lain dia tersubordinasi, dan dalam yang lainnya lagi posisi mereka dapat pula menjadi setara. Bisa juga dalam suatu periode otoritas keagamaan bersifat hegemoni, tetapi tidak demikian apda periode yang lain. Penggambaran Buya Hamka bahwa posisi MUI ibarat Kue Bika, jika condong ke atas akan gosong bagian tasnya begitu juga sebaliknya jika condong ke bawah.

Lebih lanjut beliau menuturkan jika otoritas keamaan terlalu condong pada otoritas politik, dalam konteks ini adalah politik otoratorian dia akan cenderung menjadi penerjemah dan alat kepentingan negara, Namun dalam konteks pasca otoratorian menunjukan penggabaran Buya Hamkan tidak sepenuhnya relevan karena setidaknya dua hal.

“Pertama hakikat negara turut mengalami perubahan dan pergeseran menuju demokrasi dan secara bertahap meinggalkan latar otoratoriannya walaupun belum tentu secara total. Kedua, hubungan antara otoritas keagamaan dan otoritas politik saling memerlukan, Otoritas keagamaan tidak sepenuhnya dapat menjauh dari negara karena aspek ajaran agama yang memerlukan otoritas politik yang legal untuk penerapannya secara masip. Tetapi ada pula aspek akidah yang tidak begitu saja dapat dinegosiasikan yang secara pasti sebagai esensial dari agama yang tanpanya dianggap keluar dari agama tersebut” pungkasnya. (Tim Humas)