Fenomena Klitih; Remaja Alami Disorientasi Kultural
Narasumber dan peserta mendeklarasikan Yogyakarta Berhati Nyaman Dan Bebas Dari Klitih setelah berdiskusi.
Problem kepribadian remaja di usia 12-17 tahun sangat rentan terjadi. Hal itu karena mereka berada pada tahap peralihan, mencari jatidiri untuk menunjukkan eksistensinya menjadi orang dewasa. Tidak sedikit problem kenakalan remaja seperti terjadinya klitih, bisa disebabkan disorientasi kultural untuk mengekspresikan diri.
Merespon Fenomena Klitih di Kalangan Remaja itu, Laboratorium Prodi Sosiologi Agama (LABSA) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar diskusi dengan tema “Klitih; Menelisik Akar Ekspresi Liar Remaja Bengal” yang dilaksanakan di Smartroom Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Rabu(12/2) kemarin.
Dr. Moh Soehadha, M.Hum. menjelaskan bahwa usia remaja adalah masa transisi, berada di batas antara (crossing frontiers), dari anak-anak ke dewasa. Dalam banyak budaya memiliki konsep imaginary line, batas peralihan usia adalah wilayah rentan atau kondisi krisis. Untuk mengatasi krisis inilah harus dilaksanakan ritual yang merupakan jalan menemukan harapan, dengan doa-doa untuk keselamatan agar terlampaui masa krisis hidupnya.
“Ritual bisa diisi dengan permainan, seni dan olahraga. Tujuannya membuang energi yang berlebih dan menghaluskan akal budi dan menata emosi. Di masa kini, mekanisme kultural itu umumnya telah redup, sehingga ritual transisi untuk remaja umumnya tidak ada lagi. Karena tiadanya mekanisme kultural, maka remaja banyak mengalami disorientasi, karena belum ada mekanisme kultural baru (ritual) sebagai ruang ekspresi yang cocok. Akibatnya lahirlah subkultur dan budaya tanding.” kata Soehadha saat menjadi narasumber diskusi.
Menurut Soehadha klitih sebagai budaya tanding adalah subkultur yang terbentuk dari kelas sosial remaja yang menyimpang, karena kecenderungan tindakan destruktif dan kekerasan. Klitih masa kini bertransformasi dari geng motor, yang muncul sebagai ekspresi antimainstream terhadap kultur dominan. “Sehingga menyebabkan tidak adanya kontrol terhadap ekpresi berlebih yang muncul dari krisis lingkaran hidup masa remaja sekarang ini. Oleh karenanya diperlukan mekanisme kultural yang baru, antara lain dibangun di lembaga pendidikan, keluarga, dan komunitas untuk menyikapi masalah ini.” kata Soehada.
Sementara itu Dr. Nurus Sa’adah, S.Psi., M.Si., Psikolog Wakil Dekan II Fakultas Ekonomi & Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga menerangkan munculnya motif sosial karena ada tiga faktor yakni adanya kebutuhan kekuatan dan kekuasaan, kebutuhan prestasi serta kebutuhan berkelompok dengan orang lain.
Lebih lanjut Nurus Sa’adah menyatakan remaja tumbuh seimbang harus matang secara fisik dan psikologis (Aqil dan Baligh). Tahap ini mereka mudah menerima pelajaran-pelajaran baru pengembangan diri seperti mentaati peraturan, belajar bersyukur, meningkatkan taraf kehidupannya, dan harus bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
“Tentu kebutuhan itu bisa diberikan ketika pola pengasuhan dan pendidikan dikeluarga dan sekolah sudah benar. Penuhi tangki kasih sayang, rasa nyaman, cinta, bahagia dan harmoni. Perilaku optimis mendidik anak lebih baik. Adanya kurikulum yang bermuatan soft skill, dan menciptakan suasana sekolah yang kondusif.” tutur Nurus Sa’adah.
Ketua Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Dr. Adib Sofia, S.S., M.Hum mengatakan Klitih bukan problem keluarga, sekolah atau masyarakat tapi sudah menjadi problem di semua lini. Untuk mengatasinya perlu penaganannya dari semua lembaga baik itu keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, institusi keagamaan, institusi sosial dan sebagainya untuk saling bekerjasama . Dengan saling bekerjasama kekerasan klitih bisa segera teratasi dan tereliminasi.
Adib juga berharap kepada media massa agar membuat berita yang berimbang terkait fenomena klitih, jangan membesar-besarkan apalagi membuat masyarakat takut, karena hal itu akan membuat pelaku akan merasa berhasil sudah membuat rasa tidak aman masyakarat.
Setelah selesai acara dilakukan deklarasi Yogyakarta Berhati Nyaman Dan Bebas Dari Klitih yang diikuti oleh seluruh peserta yang teridiri dari pemuda karangtaruna, guru sosiologi dan bimbingan konseling sekolah menengah atas kota Yogyakarta, mahasiswa dan dosen UIN Sunan Kalijaga. (khabib-humas UIN Suka)