KHI dan Penyatuan Kalender Islam
Oleh : Prof. Susiknan Azhari (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Dimuat di SKH. Republika, 12/4/2021
Pemahaman masyarakat tentang kalender Islam masih perlu ditingkatkan. Selama ini perhatian mereka terfokus saat menjelang Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Apalagi jika terjadi perbedaan dalam memulai awal bulan terkesan perbedaan itu hanya terjadi pada ketiga bulan tersebut. Padahal bulan-bulan lain memungkinkan terjadinya perbedaan. Misalnya dalam menentukan awal Muharam 1440 H. Menurut laporan Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP) terdapat 20 negara yang menetapkan awal Muharam 1440 jatuh pada hari Selasa 11 September 2018, seperti Saudi Arabia, Mesir, Indonesia, dan Iran.
Dilaporkan pula ada beberapa anggota ICOP yang berhasil melihat hilal. Salah satunya adalah Reza Janghorbani berhasil melihat hilal dengan binokular pada hari Senin 10 September 2018 di Wilayah Shahreza Isfahan (32 00’ LU dan 51 52’ BT). Di Indonesia Tim BMKG pada hari Senin 10 September 2018 juga berhasil melihat hilal awal Muharam 1440 di berbagai wilayah Indonesia yaitu Menado-Sulawesi Utara (hilal teramati pukul pukul 17:57 – 18:14 WITA), Ternate – Maluku (hilal teramati pukul pukul 18:55 – 19:04 WIT), Makassar – Suawesi Selatan (hilal teramati pukul pukul 18:20 – 18:30 WITA), Donggala – Sulawesi Tengah (hilal teramati pukul pukul 18:20 – 18:33 WITA), dan Tangerang – Banten (hilal teramati pukul pukul 18:09 WIB). Sementara itu yang menetapkan awal Muharam 1440 jatuh pada hari Rabu 12 September 2018 terdapat tiga negara yaitu Australia, Sri Langka, dan Nepal.
Pada tahun 1442 H juga terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Hingga bulan Syakban 1442 H sudah terjadi empat kali perbedaan, yaitu awal Safar, awal Rabiul Akhir, awal Jumadil Akhir, dan awal Syakban. Dalam kasus perbedaan awal Syakban berimplikasi dalam penentuan malam nisfu Syakban dan menentukan 29 Syakban 1442 H. Bagi Muhammadiyah, Saudi Arabia, dan Turkey tanggal 29 Syakban 1442 H jatuh pada hari Ahad 11 April 2021 karena awal Syakban 1442 jatuh pada hari Ahad 14 Maret 2021. Sementara itu Nahdlatul Ulama, Malaysia, Singapore, dan Brunei Darussalam tanggal 29 Syakban 1442 H jatuh pada hari Senin 12 April 2021 karena awal Syakban 1442 jatuh pada hari Senin 15 Maret 2021.
Mengapa terjadi perbedaan? Selama ini jawaban yang berkembang di Masyarakat, munculnya perbedaan dikarenakan perbedaan antara metode hisab dan rukyat. Tentu saja jawaban ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Persoalan mendasar terjadinyan perbedaan disebabkan umat Islam belum memiliki sebuah sistem kalender Islam yang mapan dan dapat diterima semua pihak. Hal ini disebabkan perbedaan dalam memahami anggitan hilal. Sebagian kelompok berpandangan anggitan hilal yang diinginkan nas adalah bersifat teoritis, sedangkan kelompok lain berkeyakinan konsep hilal yang diinginkan nas adalah bersifat empiris.
Berbagai upaya untuk mewujudkan kalender Islam pemersatu telah lama dilakukan baik tingkat nasional, regional, maupun internasional. Dalam perjalanannya semangat untuk mewujudkannya tak jarang mengalami pasang-surut, khususnya wilayah nasional. Para pemerhati dan pengkaji studi astronomi Islam telah mengingatkan bahwa kesempatan emas untuk melakukan unifikasi kalender Islam dapat dilakukan sejak tahun 1437 H/2016 M sampai tahun 1442 H/2021 M. Pada tahun tersebut dianggap “tahun aman” sehingga diharapkan ketika berdiskusi mencari solusi masing-masing pihak tidak terbebani dan bisa menerima keputusan dengan lapang dada. Bahkan Menteri Agama RI (2014-2019) Lukman Hakim Saifuddin saat diwawancarai selesai sidang Isbat awal Ramadan 1439 H/2018 M dengan penuh keyakinan akan mewujudkan kalender Islam pemersatu pada tahun 1440 H/2019 M. Namun sampai masa jabatannya berakhir upaya tersebut belum bisa diwujudkan.
Berdasarkan hasil hisab pada tahun 1443 H/2022 M akan muncul perbedaan. Untuk itu salah satu strategi yang dapat diusulkan adalah menjadikan mekanisme penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai acuan dalam projek penyatuan kalender Islam di Indonesia. Kehadiran KHI didasari kegelisahan akademik dan didorong kebutuhan teknis justisial di Lingkungan Peradilan Agama. Pada saat itu berdsarkan Surat Edaran Departemen Agama RI cq Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tertanggal 28 Rajab 1377/ 18 Februari 1958 ara hakim di Lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia agar dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara berpedoman kepada 13 kitab fikih. Dalam praktiknya seringkali para hakim mengambil rujukan di luar 13 kitab fikih yang telah ditetapkan sehingga dalam kasus yang sama putusannya dapat berbeda antara satu hakim dengan hakim yang lain. Akibatnya tidak ada kepastian hukum terhadap perkara yang diputus.
Kondisi tersebut merisaukan para petinggi hukum terutama di kalangan Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Akhirnya dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Nomor 25 Tahun 1985 dan Nomor 07/KMA/1985 tertanggal 21 Maret 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Projek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi. Berdasarkan SKB ini Tim diberikan waktu dua tahun terhitung sejak ditetapkan untuk mewujudkan naskah akademik. Selanjutnya tim menyusun proposal projek KHI didalamnya dijelaskan berbagai kegiatan yang ditempuh untuk mewujudkan naskah akademik, diantaranya studi literatur, wawancara dengan para ulama di Indonesia, dan studi banding ke Negara-negara kawasan Timur Tengah.
Menurut penuturan Ismail Sunny sebagaimana dikutip Marzuki Wahid projek Kompilasi Hukum Islam merupakan prakarsa dari Presiden Soeharto. Dalam projek ini Kepala Negara memiliki andil yang sangat besar dan cukup menentukan. Bahkan Presiden Soeharto memberikan modal awal sebesar Rp 230 juta dari uang pribadi bukan berasal dari APBN. Berkat kerja keras Tim Penyusun dapat menyelesaikan naskah akademik dalam kurun waktu dua tahun sembilan bulan. Setelah itu naskah akademik dikaji dan dilakukan public hearing ke berbagai wilayah Indonesia. Akhirnya draft KHI disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991 untuk dijadikan pegangan para hakim di Lingkungan Peradilan Agama.
Proses penyusunan KHI ini tampaknya dapat dijadikan model untuk mewujudkan kalender Islam pemersatu di Indonesia sebagai “jihad membangun peradaban”. Oleh karena itu diperlukan langkah kongkret dengan semboyan “bekerja apa yang disepakati dan bersepakat apa yang dikerjakan” agar dapat diketahui kekuatan, kelemahan, hambatan, dan tantangan yang dihadapi. Jika analisis SWOT ini dilaksanakan dengan benar maka upaya penyatuan kalender Islam memiliki arah yang jelas, terukur, dan memiliki peluang besar untuk diwujudkan.
Sebaliknya jika upaya penyatuan kalender Islam hanya sebatas respons sesaat maka hasilnya seperti yang dirasakan selama ini bersifat parsial. Akibatnya “terkesan” hasil berbagai pertemuan tidak memiliki kesinambungan (kontinuitas) satu dengan lainnya. Memperhatikan realitas tersebut sikap akademis rupanya harus mendorong kita untuk berlapang dada dalam menelaah sesuatu, dengan menjauhkan segala bentuk prasangka dan sikap a-priori. Gambaran tentang sesuatu yang hanya dipahami secara sepintas lalu, seringkali berbeda jauh dengan gambaran yang sesungguhnya. Dengan demikian projek penyatuan kalender Islam perlu memperbarui mekanisme kerja agar cita-cita yang mulia segera terwujud.