The Road to Academic Excellence: Riset Kolaboratif sebagai Jalan Meretas Involusi Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Indonesia

Prof. Noorhaidi Hasan, M.A.,M.Phil., Ph.D. (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi mengamanatkan semua perguruan tinggi di Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan daya saing dalam peta akademik global. Pendidikan tinggi sekaligus diharapkan dapat menjadi ‘sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa.’ Oleh karena itu, perguruan tinggi didorong untuk tumbuh semakin sehat, bermutu, otonom dan maju. Otonomi kampus diyakini sangat penting untuk menyemai semangat kemandirian dalam pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Pertemuan Forum Tujuh Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dan masyarakat sipil di Kampus UI Salemba pada 19 April 2013 menegaskan bahwa otonomi kampus merupakan ruh bagi kehidupan perguruan tinggi itu sendiri, demi mendukung cita-cita para ilmuwan Indonesia untuk mampu mensejajarkan diri dengan ilmuwan lain di dunia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberi sumbangan kepada masa depan kesejahteraan umat manusia.[i]

Beberapa kalangan menyambut lahirnya UU No. 12 tahun 2012 dengan skeptis dan mengingatkan agar otonomi kampus tidak mengarah kepada komersialisasi pendidikan tinggi dan terbentuknya mentalitas pemborong dan tukang di kalangan sivitas akademika perguruan tinggi yang bekerja demi hitung-hitungan keuntungan. Sebagian menggarisbawahi bahwa perguruan tinggi merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak boleh terdorong bersaing secara pragmatis memperebutkan pasar mahasiswa baru dan kemudian membebani mereka biaya penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi melalui berbagai pungutan. Semangat komersialisasi perguruan tinggi diyakini akan menjadikan perguruan tinggi sebagai entitas ‘privat’ yang bersaing untuk melahirkan tenaga kerja yang berpikiran pragmatis, alih-alih mencetak intelektual yang terlibat aktif dalam produksi pengetahuan dalam semua level profesi yang digeluti.[ii] Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya, Heru Nugroho (2012) bahkan menyatakan bahwa semangat otonomi yang lahir setelah masa reformasi pada kenyataannya justru melahirkan ‘banalitas intelektual,’ yaitu munculnya intelektual yang gemar mengerjakan proyek, tampil sebagai selebriti akademik, namun melupakan tugas utamanya memproduksi pengetahuan.[iii]

Dalam menjalankan amanat UU No. 12 tahun 2012 ini perguruan tinggi berupaya melakukan penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan tinggi dan memacu peningkatan kualitas akademik, sumber daya manusia, sarana-prasarana serta pengembangan kelembagaan menuju World Class University (WCU). Semangat meraih WCU bergema kencang dan memang dalam beberapa tingkat berhasil mendorong perguruan tinggi Indonesia berlomba melakukan terobosan-terobosan dalam pengembangan akademik, penelitian, sumberdaya dan sarana-prasarana. Namun, kecuali sedikit yang benar-benar terdorong secara substansial melakukan terobosan-terobosan penting terkait hal itu, perguruan tinggi Indonesia kebanyakan masih terjebak pada hal-hal yang bersifat jargonik dan formalistik. WCU lebih kencang didendangkan sebagai slogan, daripada program-program dan langkah-langkah sistematis untuk memacu mutu pendidikan dan penelitian yang dapat bermuara pada peningkatan sumbangan ilmuan Indonesia dalam pengembangan ilmu pengetahuan di tingkat global.

Sistem Akreditasi

Untuk memperbaiki mutu akademik dan menyiapkan langkah menuju WCU, pemerintah memperkenalkan sistem akreditasi di mana setiap program studi dan institusi perguruan tinggi diwajibkan mengikuti proses akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Pada dasarnya, akreditasi BAN-PT bertujuan memastikan kelayakan dan kapasitas penyelenggara pendidikan tinggi dan berjalannya sistem penjaminan mutu akademik, sebagaimana diukur dari tujuh standard akreditasi meliputi (1) isi, misi, tujuan dan sasaran, serta strategi pencapaian, (2) tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu, (3) mahasiswa dan lulusan, (4) sumber daya manusia, (5) kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik, (6) pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sistem informasi, dan (7) penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama.[iv]

Harus diakui, sistem akreditasi BAN-PT ini memiliki semangat dan nafas yang tidak jauh berbeda dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi universitas-universitas kelas dunia. Muaranya adalah produksi dan pengembangan ilmu pengetahuan berkelanjutan demi peningkatan harkat hidup dan kesejahteraan umat manusia, dengan dosen dan mahasiswa serta sivitas akademika lainnya sebagai aktor utama. Penelitian diberikan penekanan di mana perguruan tinggi dituntut “menciptakan iklim yang kondusif agar dosen dan mahasiswa secara kreatif dan inovatif menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelaku utama penelitian yang bermutu dan terencana”. Saat yang sama perguruan tinggi didorong “memfasilitasi dan melaksanakan kegiatan diseminasi hasil-hasil penelitian dalam berbagai bentuk, antara lain penyelenggaraan forum/seminar ilmiah, presentasi ilmiah dalam forum nasional dan internasional, publikasi dalam jurnal nasional terakreditasi dan/atau internasional yang bereputasi”. Kerja-kerja mengembangkan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi kemudian dikontekstualisasi dan dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat. Pengabdian masyarakat digarisbawahi sebagai “perwujudan kontribusi kepakaran, kegiatan pemanfaatan hasil pendidikan, dan/atau penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dalam upaya memenuhi permintaan dan/atau memprakarsai peningkatan mutu kehidupan bangsa”.[v]

Walaupun demikian, sebagian kalangan menilai sistem akreditasi BAN-PT terlalu superfisial. Syamsul Rizal, misalnya, bahkan berpendapat indikator-indikator yang diterapkan “sangat absurd karena tidak masuk akal, nonsense, mustahil, tidak tepat, tidak bermanfaat, dan terlalu berlebihan”. Baginya, alih-alih memperbaiki kegiatan pengajaran, penelitian, dan meningkatkan publikasi internasional, prodi-prodi dan perguruan tinggi terdorong mencari strategi untuk menyusun borang yang absurd itu sebaik-baiknya. Dan ironisnya, banyak profesor dan doktor menyediakan diri untuk menjadi konsultan dan pakar dalam bidang pengisian borang akreditasi.[vi] Asesor-asesor yang ditunjuk BAN-PT juga kadang-kadang tidak bisa menghindari sikap subjektifnya ketika memberikan penilaian karena sudah terlebih dahulu dibombardir dengan kenyamanan dan conviviality yang disediakan universitas atau prodi sasaran. Tentu pemerintah berusaha mengatasi absurditas ini, dengan misalnya menerbitkan Permendikbud No. 49 tahun 2014 yang memberi penekanan pada kualitas pengembangan ilmu pengetahuan perguruan tinggi. Pasal 26 Ayat (10) menyatakan secara eksplisit bahwa yang menjadi pembimbing utama (mahasiswa S-3) harus sudah mempublikasikan paling sedikit dua karya ilmiah di jurnal internasional terindeks yang diakui Ditjen Dikti.

Tidak bisa diingkari, semangat para pemangku kepentingan untuk memajukan pendidikan tinggi Indonesia memang semakin meningkat. Mereka menyadari bahwa perguruan tinggi tidak boleh ketinggalan dalam merespons kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada level nasional dan global yang berlangsung sangat cepat sebagai hasil dari pengembangan riset berkelanjutan. Riset yang berkualitas paralel dengan tersedianya sumber daya yang andal, tecermin dari kemampuan mereka melibatkan diri dalam riset-riset berskala nasional dan global untuk merespons berbagai persoalan aktual. Berbagai insentif telah diberikan oleh pemerintah bagi mereka yang dapat menyiarkan dan mempublikasikan karya ilmiah di forum-forum dan jurnal-jurnal internasional.

Ironisnya, pada 2015 ini tidak satu pun perguruan tinggi Indonesia dapat bertengger dalam urutan 400 besar universitas terbaik di dunia menurut pemeringkatan yang dibuat oleh Times Higher Education World University.[vii] Kita kerap berupaya menghibur diri dengan merujuk kepada ranking kita dalam Webometrics yang dianggap banyak kalangan membuat pemeringkatan perguruan tinggi hanya mengandalkan pelacakan informasi melalui web. Faktanya, sumbangan para akademisi dan ilmuwan Indonesia dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih sangat rendah, tidak lebih dari 5000 artikel yang terbit dalam jurnal internasional berpengaruh setiap tahun. Selama kurun 10 tahun terakhir publikasi ilmuwan Indonesia di kancah internasional jauh lebih rendah dibandingkan dengan ilmuwan negara-negara Asean lainnya seperti Singapura, Thailand dan Malaysia. Malaysia setiap tahunnya rata-rata memproduksi artikel jurnal internasional 4 kali lipat Indonesia, Singapore bahkan hampir 8 kali lipat Indonesia.[viii] Paralel dengan sumbangan yang rendah, Science Citation Index (SCI) sarjana PT Indonesia masih jauh dari standard dunia. Hal yang sama terjadi pada forum-forum akademik global, di mana keterlibatan sarjana-sarjana perguruan tinggi Indonesia juga masih belum terlihat memadai.

Tanpa mengurangi apresiasi terhadap apa yang sudah dikembangkan pemerintah, kita tampaknya harus memikirkan cara yang lebih efektif mengatasi rendahnya kualitas pendidikan tinggi dan terutama kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana terlihat dari data di atas. Pengalaman beberapa universitas di Asia, Afrika, dan Amerika Latin mentransformasi diri menjadi universitas unggul yang mampu bersaing di tingkat dunia layak dipertimbangkan. Beberapa universitas, seperti National University of Singapore (NUS), bahkan melompat jauh menapaki ranking kisaran 20-25 besar universitas terbaik dunia dengan keberanian dan langkah-langkah strategis yang terukur.

Universitas Riset

Strategi utama yang dijalankan universitas-universitas yang dengan cepat masuk ke dalam jajaran universitas yang diperhitungkan di tingkat dunia adalah mentransformasi diri menjadi universitas riset melalui penerapan empat kebijakan penting, yaitu mendorong dan menghargai publikasi internasional, mendukung penelitian yang berstandar internasional melalui kerjasama-kerjasama riset, memfasilitasi penelitian praktis dan transfer teknologi dalam pengembangan industri, dan menggunakan sumber-sumber penelitian untuk pengembangan sumberdaya dan kelembagaan serta peningkatan mutu pendidikan. Dalam konteks ini universitas berkomitmen mendorong secara sistematis keterlibatan para dosen dan peneliti dalam riset-riset dan diskusi-diskusi akademik di forum-forum antar-bangsa, yang bermuara pada publikasi karya ilmiah di tingkat internasional. Pengalaman Shanghai Jiao Tong University (SJTU) di Cina, misalnya, menunjukkan keberhasilan mereka menaiki ranking universitas unggulan dunia berkat kerja keras mengintegrasikan pencapaian penelitian dengan pengembangan akademik, sumber daya, dan kelembagaan.[ix]

Hal yang sama berlaku bagi Universitas Sains dan Teknologi Pohang di Korea Selatan, yang memberikan perhatian besar pada upaya menawarkan keunggulan dalam pendidikan dan penelitian kepada mahasiswa melalui pengembangan kerjasama penelitian dengan universitas-universitas terbaik di dunia. Awalnya dengan memanfaatkan hubungan personal para dosen, kerjasama riset dengan cepat terbangun dengan Universitas of California Berkeley, Imperial College London, Universitas Aachen di Jerman dan Universite de Technologie de Campiegne di Perancis, misalnya. Kerjasama terus meluas di mana Universitas Sains dan Teknologi Pohang mampu menjadi lokomotif pendirian Max Planck Institute cabang Korea dan membangun kemitraan strategis dengan RIKEN (Institut penelitian ilmu alam di Jepang) dan lembaga-lembaga riset strategis lainnya.[x] Peningkatan kerjasama riset berjalan paralel dengan peningkatan publikasi karya ilmiah sivitas akademika Universitas Sains dan Teknologi Pohang di jurnal-jurnal internasional.

Universitas riset mengembangkan paradigma yang berfokus pada komitmen mengembangkan ilmu pengetahuan seluruh sivitas akademika melalui pengajaran yang bermutu, penelitian yang berwawasan, dan partisipasi aktif dalam jaringan ilmu pengetahuan dunia. Universitas riset berupaya menyemai atmosfer akademik yang memungkinkan sivitas akademika berpikir reflektif dan kritis tentang budaya, agama, kemasyarakatan, norma-norma, alam, sains, teknologi, dan seni, sekaligus terbuka terhadap ide-ide baru dan gagasan-gagasan inovatif demi pembangunan peradaban. Melekat di dalam paradigma ini adalah prinsip kebebasan akademis bagi semua sivitas akademika untuk mengembangkan pemikiran kritis, melakukan eksprimen, dan berekspresi.[xi] Belenggu-belenggu birokrasi dan administrasi dikurangi sedemikian rupa—untuk tidak menyebut dihilangkan—demi komitmen yang menyeluruh terhadap pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.[xii]

Penghargaan terhadap publikasi internasional diberi penekanan di dalam universitas riset karena diyakini merupakan faktor penting dalam evaluasi keunggulan penelitian. Pengalaman SJTU kembali penting dicatat dalam konteks ini. Untuk meningkatkan kualitas makalah dan buku yang dihasilkan sivitas akademikanya, pada 1999 SJTU meluncurkan kebijakan memberikan hadiah kepada makalah yang terindeks di SCI. Hadiah sebesar sekitar US$1480 diberikan ke setiap paper SCI yang 90 persen pendanaan tersebut digunakan untuk penelitian selanjutnya dan 10 persen sebagai hadiah uang kepada para peneliti. Dimulai dari Pascasarjana, SJTU juga mengeluarkan kebijakan yang mensyaratkan para mahasiswa tingkat doktoral di bidang sains dan teknik untuk mempublikasikan karya tulisnya secara internasional. Oleh karena itu, mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan doktoral pada bidang ilmu sains harus menerbitkan sedikitnya satu makalah SCI dan mahasiswa yang mengejar gelar doktor bidang teknik harus menerbitkan sedikitnya satu makalah SCI atau satu makalah berbahasa Inggris yang terindeks di Engineering Index sebelum mereka dapat memperoleh gelar doktornya. Terlebih lagi, kebijakan universitas menyatakan dengan jelas bahwa hanya sebuah makalah yang diterbitkan dengan nama mahasiswa yang bersangkutan sebagai penulis pertama saja yang dihitung sebagai satu makalah penuh. Makalah tidak dapat dihitung jika mahasiswa bersangkutan hanya menjadi penulis ketiga atau yang terakhir. Kebijakan ini kemudian dilakukan juga oleh semua jurusan dan fakultas. Ketimbang kuantitas, SJTU mengutamakan kualitas makalah dan publikasi yang dihasilkan sehingga mencapai standar kemajuan serupa dengan beberapa universitas berperingkat 100 besar dunia.[xiii]

Melalui kerjasama dengan sektor swasta, pemerintah dan pemangku kepentingan pembangunan lainnya, riset-riset yang dikembangkan SJTU tidak saja menaikkan peringkat indeks kutipan tetapi juga memberikan banyak manfaat ekonomis dan arah pengembangan teknologi masa depan. Riset ilmu sosial mendapat perhatian yang tidak kalah penting dan berhasil mendorong sivitas akademika melibatkan diri dalam isu-isu pembangunan sosial-ekonomi masyarakat yang aktual. Mereka melayani kebutuhan pemerintah sebagai konsultan pembangunan masyarakat dan pengembangan komunitas. Pada saat yang sama, strategi internasionalisasi dikembangkan secara efektif dengan menyiapkan pelatihan bakat-bakat inovatif yang berdaya saing internasional dan mendirikan sistem pendidikan tinggi berstandar internasional dengan konsep pendidikan yang canggih.[xiv]

Strategi serupa ditempuh oleh Universitas Ibadan Nigeria, melalui upaya peningkatan kapasitas dan relevansi dalam riset, bagi mahasiswa maupun dosen. Artinya, aktivitas-aktivitas mahasiswa dan dosen diorientasikan pada pengembangan riset dan inovasi yang berkelanjutan demi menjawab kebutuhan-kebutuhan nyata yang berkembang di masyarakat. Kerjasama dan hubungan dengan industri juga ditingkatkan melalui pendirian pusat-pusat kewirausahaan dan inovasi, yang menopang pengembangan riset. Kinerja dosen dan mahasiswa kemudian diukur dari kemampuan mereka mempublikasikan hasil temuan riset. Status publikasi dan hasil temuan riset kemudian didokumentasikan secara sistematis untuk menginformasikan kepada khalayak tentang kinerja dan arah pengembangan yang mereka lakukan.[xv]

Hasil yang benar-benar mencengangkan dari upaya mentransformasi diri menjadi universitas riset kelas dunia tentu saja diperoleh National University of Singapore (NUS), sebagaimana sudah disinggung di atas. Universitas yang terletak di negeri tetangga terdekat Indonesia ini mampu menempatkan diri ke dalam jajaran 20-25 besar universitas terbaik dunia dalam waktu yang relatif cepat melalui berbagai strategi jitu yang ditempuhnya. NUS secara agresif merekrut dosen-dosen, peneliti dan para guru besar bereputasi internasional untuk memperkuat pengembangan pendidikan dan riset serta daya saing internasionalnya, tentu dengan insentif yang menggiurkan. Seiring dengan reputasi internasional yang didapatkannya, mahasiswa-mahasiswa dan peneliti berbakat dari berbagai belahan dunia berdatangan untuk menimpa dan mengembangkan ilmu di NUS. Kerjasama-kerjasama riset berskala internasional sekaligus juga dikembangkan melalui jejaring akademik dan kewirausahaan yang secara otomatis terbangun dengan rekruitmen terbuka terhadap dosen dan peneliti bereputasi. Pada awal 2000, NUS menyatakan diri sebagai “global knowledge enterprise” dan secara konsisten menerapkan pengukuran kinerja berdasarkan produktifitas hasil riset, publikasi internasional, kutipan dalam SCI, serta pengakuan dan penghargaan akademik yang diperoleh pada tingkat internasional.[xvi]

Pengalaman universitas-universitas ini tentu saja memberikan inspirasi bagi perguruan tinggi Indonesia untuk berbenah dan menempuh berbagai strategi mentransformasi diri menjadi universitas riset kelas dunia. Kesadaran untuk bergerak dari predikat “teaching university” (universitas pengajaran) menjadi “research university” (universitas riset) tumbuh semakin luas di kalangan penyelenggara dan sivitas akademik perguruan tinggi Indonesia. Jika di universitas pengajaran kerja dosen berfokus bagaimana mentransmisikan ilmu kepada mahasiswa, di universitas riset dosen dituntut untuk bekerja bagaimana mengajari mahasiswa “cara memproduksi dan mengembangkan ilmu pengetahuan” berdasarkan pengalamannya melakukan hal serupa. Keunggulan dosen pada universitas pengajaran terletak pada kemampuannya memindahkan ilmu yang ada di kepalanya kepada mahasiswa, sementara pada universitas riset terletak pada kemampuan dosen menuntun para mahasiswa supaya mampu secara mandiri memproduksi dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kemampuan tersebut tentu diperoleh melalui upaya keras dirinya mengembangkan ilmu pengetahuan melalui riset-riset yang berwawasan. Berbeda dari pendidikan dasar dan menengah, hakikat pendidikan tinggi memang terletak pada komitmen seluruh sivitas akademika dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Quo Vadis Riset Perguruan Tinggi Indonesia?

Geliat perguruan tinggi Indonesia untuk mentransformasi diri menjadi universitas riset memang semakin dapat kita rasakan, terlebih dengan berbagai insentif yang disediakan oleh pemerintah. Hasil akhir dari berbagai upaya yang mereka lakukan memang masih harus kita tunggu beberapa tahun ke depan. Apa yang penting digaris-bawahi di sini adalah geliat tersebut kerap tidak diikuti oleh langkah-langkah substansial memastikan seluruh sivitas akademika berkomitmen sepenuh hati mengembangkan ilmu pengetahuan. Pendekatannya masih birokratis dan administratif, melalui sistem akreditasi, Beban Kerja Dosen (BKD), remunerasi dan semacamnya. Dana yang digelontorkan untuk meningkatkan kinerja riset boleh jadi memang meningkat. Tetapi hasilnya belum tentu seperti yang diharapkan. Dana yang meningkat sering hanya bermuara pada laporan-laporan riset yang semakin tebal dan canggih, bertumpuk-tumpuk di kantor administrasi keuangan.

Pemangku kepentingan dan para peneliti di perguruan tinggi kerap lebih khawatir jika alokasi dana riset yang diberikan berbuah “temuan” dari Irjen, BPK dan bahkan KPK. Mereka berupaya keras menghindari adanya temuan dengan tumpukan kertas pertanggungjawaban keuangan tebal, yang sering diperoleh atau dibuat dengan cara sedikit manipulatif. Tidak banyak yang peduli apakah dana riset yang dialokasikan begitu besar dapat menghasilkan makalah-makalah yag terbit di jurnal-jurnal nasional dan internasional berkelas atau buku-buku berbobot yang terbit pada academic press terkemuka dunia. Namun kalangan perguruan tinggi tidak bisa juga sepenuhnya disalahkan dalam konteks ini karena rumitnya sistem administrasi keuangan kerap membuat para peneliti dan dosen menunda penelitian mereka sampai menjelang akhir tahun ketika dana sudah dipastikan akan mengucur. Dengan keterbatasan waktu, riset yang baik tidak mungkin dapat dilakukan. Apalagi rancangan riset itu dilakukan sendiri-sendiri dalam keterasingan dan jarang dikembangkan dengan melihat trend-trend riset baru dan perkembangan teoretik mutakhir dalam bidang dan topik berkenaan.

Jawaban atas masalah semacam ini yang akhirnya berujung pada rendahnya kemampuan sumber daya perguruan tinggi Indonesia menerbitkan hasil-hasil penelitian mereka di jurnal-jurnal internasional seringkali bukan dengan mendorong terbangunnya sistem dan atmosfer di mana penelitian-penelitian yang bagus dapat dikembangkan, alih-alih menyelenggarakan seminar-seminar dan pelatihan tentang keterampilan menulis di jurnal internasional. Dengan pelatihan singkat selama 2-3 hari, semua peserta ditargetkan sudah bisa menulis makalah untuk diterbitkan di jurnal-jurnal nasional dan internasional. Jarang dipahami bahwa makalah yang terbit di jurnal-jurnal bergengsi selalu merupakan hasil riset yang panjang dan melelahkan, plus telah melewati proses peer-review dan revisi serta penyuntingan yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan.

Jalan lain yang kerap diambil mengatasi ketidakmampuan sumber daya perguruan tinggi Indonesia menembus jurnal-jurnal bergengsi adalah membuat jurnal sendiri yang diterbitkan oleh jurusan, fakultas, institut, atau universitas, dengan mekanisme peer-review yang sering tidak begitu jelas. Dosen-dosen, peneliti dan mahasiswa banyak yang memilih jalan ini karena pemuatan makalah mereka bisa diatur secara kekeluargaan. Alih-alih berkomitmen menyumbang pengembangan ilmu pengetahuan, mereka sudah puas jika tulisan-tulisan itu mendapat nilai dan kum yang dapat dipakai untuk kenaikan pangkat fungsional. Banyak pula yang berani membeli “slot” di jurnal-jurnal semacam itu asalkan proses promosi dan kenaikan pangkat bisa dipastikan berjalan mulus.

Pragmatisme agaknya telah hinggap di hampir semua lini, termasuk di kalangan para mahasiswa doktoral yang lebih mementingkan gelar doktor daripada mengerjakan riset disertasinya secara serius. Penelitian doktoral dikerjakan sambil lalu, di sela beragam aktivitas keseharian yang dianggap lebih penting, apalagi mendatangkan uang secara cepat. Daripada bersusah-susah melakukan riset, lebih baik mengajar di mana-mana atau mengerjakan proyek ini-itu. Jika riset menghabiskan uang, mengajar dan mengerjakan proyek ini-itu mendatangkan uang. Jelas pilihannya. Para dosen dan guru besar pun tidak jarang lebih mementingkan aktivitas “ngamen akademis”, ketimbang riset yang melelahkan. Ketentuan tridharma perguruan tinggi dan kewajiban khusus guru besar bisa disiasati dengan kreativitas seperlunya.

Di kalangan masyarakat perguruan tinggi Indonesia riset memang kerap dianggap sebagai kerja individual yang tidak membutuhkan kerjasama dan kolaborasi dengan orang lain. Para dosen dan peneliti berada di zona nyaman “keilmuan” dan “minat” mereka masing-masing. Jika musim call for proposal tiba, mereka membuka perbendaharaan ilmu masing-masing dan kemudian menuangkannya ke dalam proposal. Bahkan ketika skema kolaboratif dipilih, kesan kesendirian itu tidak bisa dihindari. Dua atau tiga orang bekerja merampungkan proposal tanpa banyak berdiskusi dengan “dunia akademik” yang lebih luas. Proposal memang jadi dan dikirim ke pemangku kepentingan. Sebagiannya tentu diterima dan disponsori pendanaannya. Di sinilah masalahnya. Riset-riset berkembang sangat individualistik dan terisolir dari wacana keilmuan dan teoretik yang berkembang pada lingkup yang lebih luas. Apalagi dengan logika linearitas dan kompetensi keilmuan yang dipahami secara rigid, aktivitas riset terasa dingin dan hambar.

Riset Kolaboratif

Di universitas-universitas riset kelas dunia penelitian umumnya dikembangkan dengan semangat kolaboratif dan terintegrasi dengan berbagai disiplin keilmuan. Alih-alih monodisiplin, riset berkembang interdisiplin, bahkan multidisiplin. Kepala yang berbeda-beda, dengan pengetahuan dan perspektif yang berbeda-beda pula, ketiga bersatu memikirkan satu isu penting yang aktual di masyarakat berubah menjadi kekuatan yang dahsyat; kekuatan integrasi dan interkoneksi. Pendekatan inter dan multi disiplin juga memastikan permasalahan dapat didekati secara komprehensif sehingga solusi lebih jitu dapat diupayakan oleh mereka yang berkepentingan.

Riset yang berkembang di universitas-universitas kelas dunia umumnya diawali dengan inisiatif beberapa profesor dan dosen serta peneliti senior—lintas jurusan, fakultas, dan bahkan universitas—untuk merancang sebuah proposal komprehensif sebagai payung penelitian berskala besar. Mereka berdiskusi secara intensif beberapa putaran sampai kerangka konseptual, permasalahan kunci dan signifikansi riset tergambar jelas. Pembagian tugas tentu saja juga dilaksanakan, masing-masing menulis bagian-bagian lebih kecil yang relevan untuk akhirnya disatukan menjadi sebuah proposal besar. Setelah mendapatkan sentuhan akhir dari 1-2 orang yang mengambil peran terpenting, proposal siap dikirim untuk berkompetisi dengan proposal-proposal lain yang datang dari berbagai penjuru. Proposal-proposal itu menyebut secara jelas skema riset yang akan dijalankan, biasanya meliputi 4-5 kluster yang masing-masing diisi beberapa peneliti senior atau guru besar serta mahasiswa doktoral. Outcomenya juga disebut secara eksplisit, misalnya, masing-masing kluster akan menghasilkan 5 artikel jurnal, 1 edited volume, dan 1 atau 2 disertasi.

Jika disetujui penyedia dana, rekruitmen terbuka segera dilakukan untuk mengisi pos-pos yang sudah disiapkan. Kompetisi terbuka memastikan hanya mereka yang qualified dan memiliki gagasan menarik sajalah yang berkesempatan untuk diterima. Dengan cara demikian, semua yang terlibat, baik para peneliti senior atau peneliti tamu maupun mahasiswa doktoral yang beruntung, juga sudah memiliki arah yang jelas tentang riset mereka masing-masing. Dengan fasilitas yang memadai mereka kemudian bekerja menekuni riset masing-masing, tanpa direcoki dengan keharusan menyimpan bukti-bukti dan kwitansi kegiatan yang mendukung riset tersebut. Kinerja peneliti akan ditentukan berdasar laporan yang dibuat masing-masing; seberapa produktifkah mereka dalam menulis, mengikuti forum-forum akademik—seminar, workshop, colluqium, conference dan sebagainya—serta mempublikasikan hasil riset di jurnal-jurnal dan buku-buku akademik berskala internasional.

Di beberapa universitas, lembaga dan pusat-pusat riset inter dan multi-disiplin didirikan untuk menghimpun para guru besar dan dosen dari berbagai jurusan, fakultas dan disiplin keilmuan berbeda. Contohnya adalah Asia Research Institute (ARI) yang berafiliasi dengan National University of Singapore. Para peneliti di lembaga ini dikelompokkan ke dalam beberapa kluster yang masing-masing diketuai oleh seorang koordinator—biasanya profesor yang berpengaruh. Jika dana tersedia, mereka akan merekrut beberapa peneliti senior, junior, dan mahasiswa doktoral untuk bergabung ke dalamnya. Dinamika riset dari semua eksponen yang terlibat dapat dirasakan dari kegiatan dan aktivitas masing-masing kluster. Seminar bulanan diadakan rutin oleh masing-masing kluster dan seminar berkala oleh gabungan kluster-kluster. Dalam seminar bulanan masing-masing kluster, para peneliti berkesempatan secara bergiliran mempresentasikan perkembangan riset mereka masing-masing dan sekaligus mendapatkan komentar serta masukan dari sejawat lainnya. Dalam seminar gabungan kluster, pembicara tamu kerap dihadirkan untuk memperkenalkan teori-teori atau gagasan baru kepada semua peneliti. Iklim kompetisi dihadirkan ke setiap kluster melalui kesempatan mempresentasikan makalah di forum-forum akademik internasional dan mempublikasikannya di jurnal-jurnal bergengsi.

Belajar dari teman sejawat tentang berbagai ilmu dan teori baru melalui kesertaan dalam seminar dan forum akademik lainnya dirasakan merupakan sebuah keharusan. Diskusi biasanya berlangsung sangat terbuka. Setiap peneliti dapat memberikan komentar dan mengkritik secara tajam atas apa yang dipresentasikan sejawatnya. Tapi begitulah, gairah membaca, berpikir, meneliti, dan mempublikasikan hasil riset setiap peneliti tumbuh semakin meningkat seiring persentuhan yang semakin intensif dengan wawasan-wawasan dan teori-teori baru yang bertebaran di dalam kluster.

Catatan Penutup

Ada banyak jalan dan strategi yang dapat kita tempuh untuk mengatasi involusi riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi Indonesia. Di samping mengupayakan peningkatan riset melalui intervensi manajerial, birokratis, dan administratif, ada baiknya kebijakan yang lebih substansial ditempuh. Salah satunya adalah membangun budaya riset yang memungkinkan sivitas akademika perguruan tinggi menempatkan riset sebagai prioritas tugas yang menopang peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran serta pengabdian masyarakat. Dengan terbangunnya budaya riset, penelitian-penelitian yang menarik dan berwawasan dapat dikembangkan, yang akhirnya bermuara pada peningkatan publikasi karya ilmiah sivitas akademika perguruan tinggi di jurnal-jurnal internasional. Dalam konteks ini penghargaan terhadap publikasi internasional mutlak diberikan. Peningkatan budaya riset juga dapat dilakukan melalui pengembangan kerjasama dan kolaborasi riset berskala internasional. Kerjasama riset berskala internasional bukan saja mencegah riset-riset individualistik yang terisolir dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teori-teori mutakhir dalam bidang berkenaan, tetapi juga memungkinkan berlangsungnya riset-riset inter dan multi-disiplin melibatkan para dosen, peneliti dan mahasiswa dari berbagai disiplin keilmuan.

Pengalaman universitas-universitas unggul di Asia, Afrika dan Amerika Latin menunjukkan bahwa komitmen yang tinggi terhadap pengembangan riset memang merupakan kunci keberhasilan mereka mentransformasi diri menjadi universitas riset kelas dunia. Komitmen tersebut mereka barengi dengan strategi untuk membangun budaya riset secara substansial, keluar dari jebakan-jebakan birokrasi dan administrasi sambil mengembangkan kerjasama dan kolaborasi riset berskala internasional. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan tinggi di Indonesia telah lama menyadari kontribusi ilmuwan Indonesia yang kurang memadai dalam pengembangan ilmu pengetahuan berskala global sebagai akibat perhatian yang setengah hati terhadap riset. Kinilah saatnya kita bergerak bersama-sama mewujudkan perubahan. (disampaikan pada Expert Talks "Enhancing Quality of Education")


[i] “Otonomi Kampus Bukan Komersialisasi,” http://news.okezone.com/read/2013/04/19/373/ 794505/otonomi-kampus-bukan-komersialisasi.

[ii]Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, “UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme”, Harian Indoprogress, 18 Maret 2013, http://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme.

[iii] Heru Nugroho, “Negara, Universitas, dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam”, Pidato Pengukuhan Guru Besar (Yogyakarta: UGM, 2012).

[iv] Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi, Buku 2 Standar dan Prosedur (Jakarta: Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, 2011).

[v]Ibid., hal. 15-16.

[vi] Syamsul Rizal, “Absurditas BAN-PT”, Kompas, 7 November 2014.

[vii] Lihat http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/2015/world-ranking#/sort/0/direction/asc. Meskipun dalam pemeringkatan yang lain (QS World University Rankings) ada 2 perguruan tinggi Indonesia yang masuk 500 besar, yaitu UI di peringkat 310 dan ITB di peringkat 461-470. Tentang hal ini lihat http://www.topuniversities.com/qs-world-university-rankings.

[viii] Lihat http://pustaka.ristek.go.id/main/about.

[ix] Qing Hui Wang, Qi Wang, dan Nian Cai Liu, “Membangun Universitas Kelas Dunia di Cina: Universitas Shanghai Jiao Tong”, dalam Philip G. Altbach dan Jamil Salmi, eds., The Road to Academic Excellence: Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia, terj. Rahmat Purwono (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hal. 31-58.

[x] Byung Shik Rhee, “Universitas Riset Kelas Dunia di Pinggiran: Universitas Sains dan Teknologi Pohang”, Philip G. Altbach dan Jamil Salmi, eds., The Road to Academic Excellence: Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia, terj. Rahmat Purwono (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hal. 99-124.

[xi] Philip G. Altbach, “Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Universitas Riset”, dalam Philip G. Altbach dan Jamil Salmi, eds., The Road to Academic Excellence: Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia, terj. Rahmat Purwono (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hal. 9-30.

[xii] Dean O Smith, Managing the Research University (Oxford: Oxford University Press, 2011), hal. 43.

[xiii] Qing Hui Wang et al., “Membangun Universita Kelas Dunia di Cina…,” hal. 48-49.

[xiv] Ibid., hal. 49-50.

[xv] Peter Materu, Pai Obanya, dan Petra Righetti, “Kebangkitan, Kejatuhan, dan Kembalinya Universitas Ibadan, Nigeria”, dalam Philip G. Altbach dan Jamil Salmi, eds., The Road to Academic Excellence: Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia, terj. Rahmat Purwono (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hal. 207.

[xvi] Hena Mukherjeee dan Poh Kam Wong, “Universitas Nasional Singapura dan Universitas Malaya: Akar yang Sama dan Jalan yang Berbeda”, dalam Philip G. Altbach dan Jamil Salmi, eds., The Road to Academic Excellence: Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia, terj. Rahmat Purwono (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hal.149-154.