Pendidikan Pancasila
Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga)
Pendidikan Pancasila sama urgennya dengan seberapa kuat tekad kita untuk mempertahankan dan mengangkat daya saing bangsa ini di dunia. Dunia sudah serba kompetitif, untuk terjun disitu kita justru harus kembali pada jati diri, Pancasila.
Jika pendidikan Pancasila tersendat, kita perlu kuatir. Tindakan apa yang tepat, dan bagaimana cara melaksanakannya.
Harus disadari, pendidikan Pancasila memang membutuhkan perhatian kita. Sejak era reformasi ini, dengan sistem multi-partai dan demokrasi langsung ini, pendidikan Pancasila mempunyai tantangan tersendiri yang berbeda dengan sistem era autoritarian lama atau era peletakan jati diri di awal kemerdekaan.
Para anak muda yang terlahir tahun 1990-an hingga 2000-an tidak lagi selalu tertarik untuk membicarakannya. Rasa ingin tahu mereka terhadap Pancasila juga tidak kuat.
Mereka lebih senang langsung berbicara tentang agama atau bisnis, dan Pancasila tidak masuk menu utama dalam otak generasi ini. Kita hendaknya kuatir.
Ada perbedaan yang mencolok antara generasi yang menyaksikan jatuhnya Orde Baru, dan generasi yang menerima bahwa Indonesia sudah menganut sistem kompetisi bebas dalam politik dan ekonomi.
Mereka mengenal bintang youtubers dan influencers di Instagram, tidak akrab di telinga mereka para bintang bola piala Eropa dan pembalap GP 500.
Di sisi lain, bagi generasi bola dan motor balap yang saat ini berperan di depan dalam ranah politik dan sosial di negeri ini, tema Pancasila terlalu sedikit mendapatkan porsi. Kita yang saat ini sudah berumur dewasa ini ada kalanya trauma ketika berbicara Pancasila.
Pendidikan Pancasila tenggelam dalam hiruk pikuk kompetisi politik kita yang selalu menuntut kebebasan dalam berbicara, tetapi tidak melupakan kebebasan dan kedalaman berpikir. Berbicara dan berpikir adalah hal yang berbeda.
Berbicara adalah tindakan dimana kita harus dimengerti dunia, sementara berpikir sebaliknya, adalah pendalaman supaya diri sendiri, supaya kita mengerti dunia.
Kata Aristoteles, filsuf kuno Yunani, 2400 tahun yang lalu, orang bijak akan berbicara apa yang penting, sedang yang tidak bijak akan berbicara apa saja, supaya dianggap penting.
Pancasila adalah wahana kita untuk mengingatkan diri sebagai bangsa, sejauh mana kita berbicara dan berfikir.
Tentu bukan penghafalan lima Sila itu saja, dan disertai dengan sekadar berdiri menyanyikan lagu kebangsaan. Tetapi bagaimana kita berfikir dan bersikap Pancasilais: berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, bermusyawarah, dan berkeadilan.
Tema-tema itu tidak hanya ada dalam berbagai serat dan babad, sastra kuno kita. Tetapi itu semua sudah lama disinggung oleh Plato, dua ribu lima ratus tahun lalu, dalam Republik atau Politeia.
Sistem dengan multi-partai dan kebebasan berpolitik ini membutuhkan pendidikan Pancasila, baik formal atau informal, dalam kurikulum atau di luar kurikulum.
Jujur saja, Pancasila sedang membutuhkan tafsir baru kita. Pendidikan Pancasila hendaknya mengenalkan kembali terutama generasi milenial, betapa pentingnya mempunyai pegangan bersama sebagai bangsa dalam menghadapi dunia agar kita tetap utuh sebagai satu kesatuan.
Tentu cara itu tidak harus meniru cara tiga puluh tahun yang lalu, ketika Pancasila diajarkan dengan sistem dogma, ideologi, dan penyeragaman.
Pendidikan Pancasila hendaknya diberikan dalam bentuk baru tentang etika, norma, moral bagi rakyat dan pemimpinnya, dan terutama bagi calon pemimpinnya.
Generasi milenial adalah persiapan generasi mendatang untuk melanjutkan pemimpin saat ini. Pendidikan Pancasila adalah ajakan untuk berfikir mendalam, tidak hanya berbicara bebas, tetapi tentang tanggungjawab sebagai warga negara dan warga dunia.
Pendidikan Pancasila idealnya mengupas bagaimana kekuatan bangsa ini di dunia, dari sudut ekonomi, politik lokal dan internasional, kesepahaman keragaman etnis, budaya, tradisi dan iman. Termasuk bagaimana menghadapi krisis global dari segi lingkungan, alam, dan krisis energi.
Pendidikan Pancasila juga menyangkut daya tahan dan tawar bangsa kita di masa mendatang. Ini yang kita butuhkan, untuk kembali mengingatkan ikatan kita bersama sebagai bangsa yang aktif di dunia.
Generasi milenial membutuhkan itu dalam bahasa yang mereka fahami, dengan logika yang saat ini mereka pegang, dan dengan contoh-contoh nyata dalam kehidupan keseharian.
Kita tentu bisa secara bersama-sama, baik pendidikan di kelas ataupun di luar. Informasi publik lewat media massa atau media sosial, membutuhkan cara baru pemahaman Pancasila.
Pancasila adalah pengikat kita, antar suku, antar agama, antar etnis, antar pulau. Maka pendidikan Pancasila adalah kewajiban kita mendidik diri sendiri, dan generasi akan datang, sekaligus kita semua hidup dalam ikatan kebangsaan.
Pancasila tidak harus selalu bernama Pancasila secara harfiah dan tidak harus pula ditekankan secara terang-terangan kita berpancasila, tetapi nilai-nilai yang dibayangkan oleh Sukarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, A A Maramis, dan tokoh-tokoh yang banyak era pendirian bangsa itu.
Pendiri bangsa ini merumuskan Pancasila sesuai dengan visi ke depan mereka.
Nilai, semangat, moral, etika, dan kekuatan Pancasila sudah dipraktekkan bangsa ini, baik sebelum atau sesudah era penjajahan Belanda, kemudian dicantumkan dalam lima Sila itu. Pancasila hadir dan harus ada dalam sistem Pendidikan kita, demi kelangsungan bangsa ini.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman publika.rmol.id dengan judul dengan judul "Pancasila yang Lebih Sederhana" edisi Minggu, 11/07/2021, 16:25 WIB
Baca juga: Pancasila yang Lebih Sederhana