Prof. Riyanta Dikukuhkan Sebagai Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ” Ungkap Hak Waris Dalam Islam Untuk Non-Muslim ”

Prof. Dr. H. Riyanta, M. Hum., dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, 29/5/2024 di Gedung Prof. H.M. Amin Abdullah. Prof. Riyanta dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Hukum Kewarisan Islam oleh Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga, Prof. Kamsi berdasarkan S.K. Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 119379/B.II/3/2023, Tanggal 17/11/2023. Hadir pada prosesi sidang senat terbuka pengukuhan Guru Besar kali ini antara lain: Jajaran Pimpinan Universitas, Dekanat, Pimpinan Lembaga dan Unit UIN Sunan Kalijaga, tamu undangan dan kerabat dari Prof. Riyanta.

Dalam pidato pengukuhannya Prof. Riyanta menyampaikan karya ilmiah berjudul “ Hak Non-Muslim Dalam Hukum Kewarisan Islam-Dikursus Dan Pembaruan Praktek Peradilan Di Indonesia.” Prof. Riyanta antara lain menjelaskan bahwa, secara yuridis normatif kerabat non-Muslim terhalang menerima harta warisan dari pewaris muslim. Namun tidak memberi bagian warisan sebagaimana hukum asalnya dirasa tidak adil dan tidak sejalan dengan nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Kerabat non-Muslim, betapapun berbeda agama dengan pewaris Muslim, adalah orang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris, yang di antara mereka terkadang terjadi hubungan harmonis tanpa mempersoalkan perbedaan agama, dan pewaris juga tidak pernah dirugikan oleh kerabat non-Muslim. Dalam kondisi demikian, hakim dituntut berani melakukan terobosan hukum (rule breaking) dengan membaca teks hukum yang ada dengan makna yang lebih luas, atau bahkan dalam keadaan tidak dijumpai teks hukum, melakukan penemuan hukum progresif guna menciptakan hukum baru yang relevan dengan semangat perubahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan, keadilan dan kemanusiaan sebagaimana dicontohkan MA dalam putusan-putusannya.

Dalam putusannya, MA memberikan bagian harta warisan atau harta peninggalan kepada kerabat non-Muslim dengan sarana hukum wasiat wajibah yang kadar bagiannya sama dengan bagian ahli waris Muslim yang sederajat atau maksimal sepertiga. Putusan progresif MA tersebut merupakan hasil penemuan hukum bebas dengan penalaran istiṣlāḥī yang tidak hanya bertumpu pada pemaknaan-pemaknaan literal teks-teks hukum, namun lebih berorientasi pada kemaslahatan antar ahli waris.

Kendati demikian, demikian kata Prof. Riyanta, penerapan wasiat wajibah tidak digeneralisasikan pada kasus yang sama, namun lebih bersifat kasuistik dengan mempertimbangkan kemaslahatan dalam hubungan personal antara pewaris Muslim sebagai pewasiat dengan kerabat non-Muslim sebagai penerima wasiat (al-maṣlaḥat bain al-mūṣī wa al-mūṣā lah). Oleh karena itu, jika kerabat non-Muslim berkelakuan baik kepada pewaris Muslim semasa hidupnya maka wasiat wajibah dapat diberikan kepadanya. Sebaliknya, jika kerabat non-Muslim berkelakuan tidak baik terhadap pewaris Muslim semasa hidupnya, maka wasiat wajibah tidak bisa diberikan kepadanya.

Mnurut bapak tiga putra dari istri dr. Hj. Amik Isnawati, S. Ked., penerapan wasiat wajibah kepada kerabat non-Muslim sebagai produk penemuan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk sangat relevan bagi pembaruan hukum kewarisan Islam Indonesia. Pertama, secara konseptual, hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari hukum keluarga, termasuk dalam lapangan hukum muamalat yang memungkinkan dilakukannya kajian baru dengan mempertimbangkan dimensi lokalitas sosial dan budaya di mana hukum kewarisan Islam itu akan diimplementasikan. Karakteristik hukum kewarisan Islam yang terbuka bagi perubahan dan perkembangan tersebut menjadi modal bagi pembaruan hukum kewarisan Islam kapan pun dan di mana pun.

Kedua, penerapan wasiat wajibah merupakan respon positif terhadap dinamika sosial dan hukum di tengah masyarakat yang dilakukan dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia yang majemuk telah mengadakan kontrak sosial untuk hidup rukun, damai, saling hormat menghormati dan tidak saling merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan baik atas dasar suku, budaya maupun agama sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara, Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun ratifikasi terhadap instrumen penegakan dan perlindungan hak asasi manusia internasional. Pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia tersebut merupakan salah satu pilar utama negara hukum yang sekaligus juga diakui dan dijunjung tinggi oleh Islam.

Dari temuan ilmiahnya ini Prof. Riyanta berharap, penerapan wasiat wajibah kepada kerabat non-Muslim dapat menjadi spirit dan modal penting bagi teoritisi dan praktisi hukum untuk melakukan pembaruan hukum kewarisan Islam Indonesia ke depan. Kondisi bangsa Indonesia yang pluralistik menuntut diberlakukannya aturan hukum baru yang ramah terhadap perbedaan, menjunjung tinggi semangat persaudaraan, kesetaraan, keadilan dan hak asasi manusia sebagaimana misi utama ajaran Islam yang sekaligus juga diakui dan dijunjung tinggi oleh tatanan hukum lain baik nasional maupun internasional, demikian tegas Prof. Riyanta. (Tim Humas)