Dr. Asep Jahidin, M.Si. Kekuatan Baru Pengembangan Akademik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suka
Dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Asep Jahidin berhasil meraih Gelar Doktor Pada Universitas Pajajaran. Dr. Asep Jahidin, M. Si., memperoleh Gelar Doktor setelah mempertahankan karya riset Disertasinya berjudul “Pengasuhan Santri di Pesantren: studi kasus di pesantren Sunan Pandanaran, Pesantren Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Pesantren Ibnul Qoyyim Daerah Istimewa Yogyakarta.” Bapak tiga anak dari istri Suswini, SE., M. Acc. mempresentasikan hasil riset Disertasinya di hadapan tim penguji; Ketua Sidang Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata MT, MSi., Sekretaris Sidang, Dra. Binahayati, MSW., Ph.D., Promotor, Dr. Dra. Hj. R. Nunung Nurwati, M.S., anggota tim promotor, Dra. Binahayati, MSW., Ph.D., Dr. Kanya Eka Santi, MSW., Oponen Ahli, Prof. Adi Fahrudin, Ph.D., Drs. Budhi Gunawan, M.A., Ph.D., Dr. Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., M.S.W., sementara Prof. Dr. Drs. Ir. H. Munandar Sulaeman, M.S. Selaku Representasi Guru Besar Universitas Padjadjaran, bertempat di kampus Pajajaran, 29/7/2020.
Ditemui di ruang kerjanya, kampus Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, 30/7/2020, kepada humas Asep Jahidin menjelaskan riset Disertanyanya. Asep Jahidin melakukan riset tentang fenomena pengasuhan santri di Pesantren, yang notabene mereka (para santri adalah anak anak yang masih membutuhkan kedekatan, perawatan dan kasih sayang orang tua mereka. Namun mereka harus rela berpisah dengan orang tua dan memilih nyantri di Pesantren. Sementara, pesantren sering diperdebatkan dari aspek lingkungan fisik dan manajemen pengasuhan. Hal ini tercermin dari kritikan terhadap kondisi fisik pesantren yang terkesan seadanya, kebersihan yang kurang terjaga sehingga dapat menjadi sebab munculnya berbagai penyakit yang menimpa santri. Meskipun perkembangan saat ini, sudah mulai banyak pesantren yang memiliki sarana dan prasarana lebih lengkap dan sangat memadai. Kritik terhadap pesantren juga muncul karena kerap ditemui, pesantren dikelola tanpa memiliki manajemen yang modern, sebab segala sesuatu terletak pada keputusan dan kebijaksanaan dari kyai.
Di tengah berbagai kritik terhadap pesantren tersebut, antusiasme masyarakat untuk mengirim anaknya tinggal di pesantren terus meningkat, ditandai dengan meningkatnya jumlah santri dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 jumlah santri sebanyak 4.028.660 dan pada tahun 2019 telah meningkat hingga mencapai 4.174.080 santri. Dari jumlah tersebut, 64 persen tercatat bermukim di pesantren yang jumlahnya mencapai 2.671.417 santri yang tersebar di 27.722 pesantren di seluruh Indonesia berdasarkan statistik kementerian agama 2020.
Jutaan santri tersebut, kata Asep, tinggal secara terpisah dari keluarganya, sehingga mereka harus diasuh dan dipenuhi haknya oleh para kiyai, para ustadz dan para pengasuh lainnya yang diberi amanah untuk mengasuh, menjaga, melindungi dan mendidik para santri tersebut. Masa depan pesantren ikut ditentukan oleh pengasuhan yang mensinergikan nilai agama, budaya, kebangsaan, dan nilai kemanusiaan. Konsep ini juga telah menjadi issu penting dalam perspektif kesejahteraan sosial, terutama dalam konsep pemenuhan hak anak yang menjadi santri di pesantren. Di mana pengasuhan dapat dilihat sebagai bagian dari upaya untuk pemenuhan hak anak yang sangat menentukan kesejahteraan.
Mengingat pentingnya pengasuhan santri di pesantren tersebut serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan dan tumbuh kembang para santri, maka hal itu demikian penting untuk dikaji, diteliti. Penelitian sebelumnya yang mengkaji pesantren telah banyak dilakukan, baik dari aspek sejarah, aspek kelembagaan, maupun aspek Pendidikan dan keagamaan. Sementara penelitian terkait aspek pengasuhan di pesantren relatif masih terbatas dan itupun masih perlu dikembangkan.
Di tengah kurangnya penelitian mengenai pengasuhan santri, hampir tidak ditemukan penelitian pengasuhan di pesantren yang fokus secara bersamaan pada pengalaman pesantren Nahdhatul Ulama (NU) yang sering diasosiasikan dengan tradisionalis, pesantren Muhammadiyah yang sering diasosisikan dengan modernis (Bull, 1997) dan pesantren yang tidak memiliki afiliasi dengan keduanya. Disamping itu hampir semua penelitian mengenai pengasuhan di pesantren, dilakukan dengan menggunakan teori Baumrind, yang melihat pengasuhan pesantren dari sisi apakah itu termasuk otoriter, demokratis atau permisif dengan temuan yang hanya terbatas pada pola-pola tersebut.
Menurut Asep Jahidin, penelitiannya berupaya mengisi berbagai gap dan kekosongan tersebut. Pengasuhan di pesantren tidak bisa dipisahkan dari budaya unik khas pesantren yang merupakan sebuah warisan budaya masyarakat Indonesia (Nafis, 2008). Keunikan sistem pesantren ini oleh Abdurrahman Wahid disebut dengan istilah sub-kultur (Wahid, 2010), sementara Zamakhsari Dhofier menyebut keunikan sistem pesantren itu dengan istilah tradisi pesantren (Dhofier, 1980). Ciri khas dan indigeneusitas sistem pengasuhan pesantren tersebut merupakan kekayaan serta warisan yang berharga bagi masyarakat Indonesia, yang perlu digali dalam rangka memahami konsep pengasuhan di pesantren yang selama ini masih samar- samar.
Dari riset Disertasinya, Asep berhasil mengeksplorasi dan memahami bagaimana pengasuhan santri di lingkungan pesantren, melalui analisis mengunakan teori enam dimensi pengasuhan, yang disampaikan oleh Skinner, Johnson dan Snyder (Skinner et al., 2005). Rumusan enam dimensi pengasuhan tersebut didasarkan pada asumsi dasar Skinner yang meyakini bahwa dimensi pengasuhan dapat dilihat sebagai suatu fasilitas, kualitas, dan pola deskriptif untuk memahami hakikat pengasuhan. Skinner kemudian membaginya ke dalam enam dimensi utama pengasuhan. yaitu kehangatan (Warmth), penolakan (Rejection), aturan (Structure), konflik (Chaos), dukungan kebebasan (Autonomy Support), dan paksaan (Coercion). Dari keenam dimensi tersebut menurut Skinner, dapat dibedakan menjadi dimensi positif dan dimensi negative. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketiga Pesantren yang ia teliti (Pesantren Sunan Pandanaran, Pesantren Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Pesantren Ibnul Qoyyim Daerah Istimewa Yogyakarta) memperlihatkan pola pengasuhan para santrinya yang telah memenuhi pola pengasuhan yang didiskripsikan oleh Skinner, Johnson dan Snyder (Skinner et al., 2005) sebagai pola pengasuhan yang positif diantaranya; ada kehangatan hubungan antara pengasuh dengan para santri, disiplin dan aturan yang ditegakkan, ada kenyamanan dan kebebasan santri untuk belajar, dan disiplin yang tinggi untuk memperoleh keberhasilan pengasuhan, Hal ini tentunya menjawab berbagai kritikan negatif masyarakat terhadap pengasuhan di Pondok Pesantren. Itulah kenapa semakin banyak orang tua di Indonesia begitu yakin menitipkan pengasuhan anak anak mereka ke Pondok Pesantren, jelas Asep Jahuidin.
Sementara itu, Asep Jahiduin mengaku, menjadi doktor bukan sekedar pencapaian akademik saja tetapi lebih banyak pada pengalaman spiritual menghadapi beragam karakter para penguji dan tantangan non teknis selama menempuh studi S3, juga beragam karakter para pengasuh Pondok Pesantren dan para santri telah mengasah kesabaran dan keterbukaan cara berfikir, juga lebih menghargai dan cinta kasih antar sesama makhluk Allah SWT. (Weni)