Imajinasi Masa Depan Santri

Oleh: Fathorrahman Ghufron

Dalam lawatan akademik ke Yangzhou, china (26-30/7/24), saya menyempatkan diri beraudiensi dengan Persatuan pelajar Indonesia yang sedang menempuh kuliah di Yangzhou University. Sebagian besar dari mereka berlatar belakang santri yang menempuh pendidikan menengahnya di Pesantren Krapyak Yogyakarta, Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, dan berbagai pesantren lainnya di Indonesia.

Ada berbagai fakultas yang menjadi pilihan kuliah mereka. Namun, sebagian besar mengambil minat di bidang sains, teknologi informasi, perhotelan, dan kesehatan. Bahkan ada di antara mereka yang menekuni bidang artificial inteligence, yang saat ini menjadi trend keilmuan yang senafas dengan kemajuan digital.

Pilihan kompetensi yang mereka ambil menjadi sebuah terobosan keilmuan yang barangkali tak terbayangkan oleh santri generasi X maupun generasi sebelumnya. Sebagai generasi milenial yang lahir dan tumbuh kembang dalam ekosistem globalisasi, mereka berani memutus mata rantai tradisi keilmuan yang selama ini berbasis pada kajian keagamaan. Bahkan, banyak dari mereka yang berasal dari keluarga kyai, turut melakukan dis-asosiasi sanad keilmuan dari para leluhurnya.

Peralihan cara pandang yang dilakukan oleh kaum santri maupun keluarga kyai dalam menempuh studi lanjutnya di bidang sains dan teknologi, menunjukkan adanya perubahan imajinasi berfikir yang bergerak secara quantum untuk merespons berbagai tantangan zaman yang diliputi oleh kemajuan teknologi informasi dan digitalisasi. Terlebih lagi, imajinasi menjadi salah satu kekuatan dasar santri untuk membangun peradaban baru di masa depan kehidupannya.

Imajinasi Produktif

Kehadiran kaum santri yang dewasa ini tampil dengan wajah keilmuan yang lintas disiplin, memberikan harapan baru bahwa pesantren di masa akan datang, sesungguhnya tidak hanya menjadi lokomotif khazanah keislaman yang dikaji secara konfensional. Akan tetapi, perangkat keilmuan seperti fikih, tafsir, Nahwu, dan manthiq yang lazim dipelajari santri dapat ditransformasi sebagai pendekatan dan metode berfikir progresif dalam memahami ayat-ayat al qur’an. Apalagi, ayat-ayat tentang alam (kauniyah) yang termaktub dalam al qur’ah proporsinya lebih besar dari pada ayat-ayat hukum dan lainnya.

Oleh karena itu, tantangan pembelajaran yang sangat urgen dilakukan oleh santri adalah bagaimana membangun imajinasi produktif sebagai kerangka berfikir futuristik melalui inovasi dan kreatifitas keilmuan yang selaras dengan perkembangan zaman. Sebab, era globalisasi yang akan dijalani oleh kaum santri merupakan ruang pertarungan yang paling kompleks untuk mendefinisikan dirinya sebagai generasi yang terampil dan berkemampuan dalam menyiapkan kebutuhan manusia masa depan.

Dengan cara demikian, santri masa depan tidak hanya dianggap sebagai generasi pinggiran yang hanya dianggap mampu menyelesaikan persoalan manusia dengan pendekatan tekstual- normatif. Akan tetapi, ke depan santri harus mempunyai multi talenta dan multi disiplin dalam memproduksi berbagai perangkat pengetahuan baru yang diperlukan di masa depan. Setidaknya, pemosisian cara kerja berimajinasi secara produktif, maka santri akan mewarisi spirit keagamaan yang menegaskan pentingnya makna shalihun fi kulli zaman.

Dalam kaitan ini, tampilnya sosok santri seperti Ainun Najib yang menggeluti keilmuan bidang data sains yang pernah berkontribusi dalam pengembangan program Kawal pemilu, berkiprah sebagai data scintist di Traveloka, dan peran teknologi lainnya menjadi salah satu role model kesantrian yang berani bertarung di dunia globalisasi. Demikian juga sosok Dicky Budiman yang dikenal sebagai pakar epidemologi dan global health security yang selama masa covid tahun 2020-2021 dikenal sebagai analis yang menjadi rujukan banyak pihak di Indonesia. Ada pula sosok Ahmad Ataka Awwalur Rizqi yang mendalami bidang robotika yang berkiprah sebagai peneliti posdoktoral di di Queen Mary University of London. Di luar nama-nama tersebut, tentu masih banyak juga profile santri yang berhasil membangun imajinasi produktif sesuai dengan keahliannya masing-masing.

Apa yang sudah ditorehkan oleh para santri yang berkiprah di bidang ilmu masa depan (future studies) tersebut, sesungguhnya tengah berupaya keras menapaki jejak-jejak rekam saintis muslim masa lalu yang pernah menorehkan tinta emas kejayaan peradaban Islam. Mereka tidak hanya terjebak dalam imajinasi reproduktif yang parsial dan sekedar membayangkan keemasan masa lalu tanpa berbuat nyata.

Sudah semestinya, santri masa depan harus melakukan penguatan imajinasi global secara produktif, konstruktif, da progresif agar mampu tampil dalam ruang-ruang pergulatan keilmuan di kancah global. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula dalam rumusan muktamar pemikiran NU (1-3 Desember 2023) yang mengambil tema “imagining the future society).

Ruang Ekspresi Kesantrian

Untuk bisa mengisi ruang-ruang pergulatan keilmuan tersebut, setidaknya ada tiga elemen penting yang harus diekspresikan oleh santri dalam meneguhkan imajinasi produktifnya. Pertama, progressiveness yang terkait dengan cara membangun pemahaman yang berwawasan masa depan namun tetap beririsan dengan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan dalam pesantren. Berbagai perangkat pengetahuan yang dipelajari di pesantren harus di kontekstualisasikan dan diekspresikan secara lebih modern agar melahirkan pemahaman baru dalam menangkap rahasia-rahasia ilahi yang termaktub dalam al qur’an.

Kedua, revolution yang terkait dengan tindakan perubahan secara frontal dan simultan untuk mencapai masa depan. Langkah terabas dan lintas disiplin di bidang sains dan teknologi merupakan ikhtiar pembelajaran yang harus diambil oleh para santri masa depan. Sebab, dengan cara memutuskan diri belajar ilmu yang sesuai dengan kebutuhan masa depan, maka para santri mampu meredifinisi identitas kemuslimannya di ruang-ruang global. Setidaknya, dengan menggeluti jejak kepakaran yang serba sekularistik dan menempuh studi di negara-negara yang mempunyai ekosistem sains dan teknologi yang terbaik, maka suatu saat para santri akan tampil pribadi muslim yang lebih shalih dan bermanfaat.

Ketiga, nation adalah labuhan akhir dari semua mata rantai pencaharian jati diri dan proses pembelajaran yang dilakukan di berbagai manca negara. Seorang santri harus memahami etika profetik kebangsaan yang harus menjunjung tinggi kebanggaannya sebagai rakyat Indonesia. Meskipun kaum santri sudah berhasil menorehkan berbagai raihan prestasi di bidang sains, teknologi, dan ilmu-ilmu kealaman lainnya harus tetap memikirkan bagaimana memajukan negara Indonesia di masa akan datang.

Dengan ketiga ekspresi tersebut, maka santri akan tetap menjadi “titisan ulama” yang selalu tawaddlu’ dan selalu berupaya bermanfaat bagi peradaban manusia dan republik Indonesia.

* Wakil Katib PWNU Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Sudah Terbit pada SKH. Jawa Pos

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler