LEPAS JILBAB DAN PERJALANAN RELIGIUS ( Iswandi Syahputra Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Suatu ketika dari arah Gembira Loka hendak menuju kampus UIN Sunan Kalijaga, saya kena lampu merah di perempatan SGM Yogyakarta. Di depan saya seorang remaja putri berpakaian ketat, tapi mengenakan jilbab. Saking ketatnya, baju bagian belakang bokongnya ketarik, hingga tersingkap dan terlihat CD (Celana Dalam) warna pink bergambar Hello Kitty. Semula saya pikir dia mahasiswi UIN yang akan menuju kampus. Terpikir lagi, ini kebetulan saya bisa ngekor mengikutinya dari belakang. Rupanya dia belok kiri, sementara arah saya belok kanan. Anehnya, mungkin karena panggilan Hello Kitty tadi, tanpa sadar saya mengikutinya belok kiri. Begitu saya sadar sudah ‘salah jalan’ sayapun kembali putar balik.

Sesampai di kampus, kebetulan saya menyampaikan kuliah Komunikasi Profetik. Salah satunya menjelaskan tentang bagaimana kita berkomunikasi dengan Allah SWT. Kapan kita berkomunikasi dengan Allah SWT, di mana kita berkomunikasi dengan Allah SWT dan siapa yang menjadi saksi saat kita berkomunikasi dengan Allah SWT. Titik temunya ada di sholat. Saya kemudian menjelaskan pemahaman saya tentang Sholat sebagai sebuah perjalanan ruhani dalam 4 jenjang:

1. Pertama, Dirikanlah sholat. Ini untuk ruhani level anak-anak. Hanya mendirikan saja, tapi sholatnya tidak berdampak. Jadi jangan heran jika ada yang sholat tapi tetap saja korupsi. Ini sholat level SYARIAT.
2. Kedua, Sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Ini untuk ruhani level remaja yang sudah bisa membedakan baik dan buruk. Sehingga tiap kali akan berbuat salah, dibatalkan karena teringat sholatnya yang mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Ini sholat level TARIQAT.
3. Ketiga, Sholat itu tiang agama. Ini untuk ruhani level dewasa yang tau persis Sholat yang benar akan benar-benar menjadi dasar dan awal pondasi semua kebaikan. Ini sholat level HAKIKAT.
4. Keempat, Sholatlah untuk mengingat Allah. Ini level tertinggi, sangking tingginya, ada yang kepleset jatuh, kalau sudah ingat Allah SWT, maka tidak perlu sholat. Padahal tidak demikian, sholat itu sebuah perjumpaan yang paling dirindukan seorang hamba pada Khalik. Ini sholat level MAKRIFAT.

Setelah menjelaskan 4 jenjang sholat inilah saya teringat kembali ke celana dalam Hello Kitty remaja putri yang naik motor di jalan tadi. Saya kemudian menjelaskan, demikian pula dalam proses menutup aurat bagi seorang Muslimah. Jilbab itu adalah sebuah perjalanan religius setiap Muslimah. Saya kemudian menjelaskan tentang Jilbab sebagai sebuah perjalanan religius Muslimah dalam 4 jenjang:

1. Muslimah tanpa jilbab, mereka tidak salah karena ruhaninya belum menyadari dengan benar syariat berbusana dalam Islam. Kalau diekuivalen dengan usia, ini level anak-anak menjelang remaja, usia 10-15 tahun. Tubuhnya adalah objek yang dipamerkan dalam sebuah pagelaran arena sosial.
2. Muslimah ber jilboobs, mereka mulai menyadari jilbab merupakan syariat berbusana dalam Islam. Hanya saja, bayang-bayang ingin tetap terlihat seksi masih belum hilang. Jilboobs menjadi sebuah istilah satir dalam kajian budaya popular untuk menyindir wanita yang mengenakan jilbab, tetapi memakai pakaian ketat agar terlihat tetap seksi. Jilboos sendiri singkatan dari kata jilbab dalam pengertian penutup kepala dan boobs (payudara). Kalau diekuivalen dengan usia, ini level remaja menjelang dewasa, usia 15-25 tahun.
3. Muslimah berjilbab, mereka yang berjilbab dalam pengertian bukan menutup kepala, tapi menutup tubuhnya tanpa kesan ingin terlihat seksi, tanpa ada keinginan menonjolkan sensualitas tubuhnya. Model jilbab inilah yang sering dan banyak dipakai oleh Muslimah Indonesia dengan berbagai variasinya. Kalau diekuivalen dengan usia, ini level dewasa pada usia 25-40 tahun.
4. Muslimah berjilbab syar’i, lebih dikenal dengan hijab, yaitu jilbab khusus untuk perempuan muslimah yang menutup auratnya. Bentuknya besar dan lebar menutupi kepala, punggung hingga sampai ke pinggang. Pada level yang lebih ekstrim, bahkan menutup wajah yang kita kenal sebagai cadar atau Niqab. Bahkan yang paling ekstrim lagi menutupi seluruh tubuh, termasuk mata dengan bahan kain berjejaring halus yang dikenal dengan Burqa Kalau diekuivalen dengan usia, ini level emak-emak pada usia 40 tahun ke atas.

Sebagai sebuah perjalanan, ada juga pengguna jilbab yang mengalami maju-mundur dan naik-turun dalam berjilbab. Dari tidak berjilbab, kemudian mengengakan jilboobs, meningkat mengenakan jilbab syar’i, tapi mungkin karena merasa panas, balik lagi tidak berjilbab. Perjalanan religius artis lawas Tri Utami menarik dikaji sebagai pelajaran sebuah perjalanan religiusnya dalam berjilbab.

Sehingga persoalan lepas-pasang jilbab dalam perspektif sosiologi agama, dapat diletakkan sebagai sebuah perjalanan religius pelakunya. Lepas-pasang jilbab dapat saja dinamika internal sebagai bentuk pergolakan batiniah pelakunya, atau karena intervensi eksternal yang lebih bersifat jasmaniyah. Dalam konteks inilah, hal-hal seperti peraturan, norma etika sosial, aspek estetika, tuntutan profesi dan lainnya dapat membuat sesorang berada dalam dilema religiusitas. Keyakinan religiusitas internalnya, akan diuji dengan berbagai tuntutan eksternal di luar dirinya.

Namun demikian, ketika persoalan lepas jilbab masuk dalam arena sosial, karena ini soal keyakinan dan pilihan, maka intervensi sosial berupa opini publik juga punya hak untuk ikut terlibat mengintervensi. Kasus seorang peserta Paskibraka Nasional tahun 2024 yang kabarnya harus melepas jilbab karena aturannya memang demikian, menjadi contoh bagaimana urusan keyakinan personal dapat diintervensi oleh peraturan, dan peraturan dapat diintervensi oleh opini publik dalam suatu dinamika sosial yang dilematis.

Pada akhirnya, opini publik dapat berfungsi sebagai kontrol bagi kebijakan. Dan ini juga menjelaskan bahwa sebuah kebijakan juga merupakan sebuah perjalanan. Kadang maju ke depan, kadang harus mundur menganulir kebijakan, kadang harus menyamping menyesuaikan, kadang harus berhenti untuk direnungkan.