Sistem Blockchain Untuk Pemilu

Peretasan laman KPU (infopemilu.kpu.go.id) dan Bawaslu (inforapat.bawaslu.go.id) pada masa PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) serentak 2018 menyebabkan sebagian masyarakat mempertanyakan kehandalan sistem teknologi informasi (TI) yang dikelola oleh lembaga penyelenggara pemilu. Beberapa pihak bahkan lebih jauh lagi mempertanyakan apa sebenarnya manfaat dari sistem TI pemilu dan apakah sistem tersebut masih diperlukan pada penyelenggaraan pemilu-pemilu berikutnya. Munculnya pertanyaan-pertanyaan ini kiranya merupakan hal yang wajar mengingat sistem TI pemilu hingga saat ini belum bisa memenuhi ekspektasi masyarakat.

Sebagai sebuah alat bantu, sistem TI selaiknya harus dapat mendukung pencapaian tujuan dari pihak yang memanfaatkannya. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang dipercaya oleh masyarakat. Oleh karenanya, penggunaan sistem TI seharusnya bisa meningkatkan kredibilitas, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu sehingga bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat. Kecepatan, ketepatan, dan efisiensi proses merupakan nilai tambah lain yang semestinya juga bisa diharapkan dari implementasi sistem TI.

Sejauh ini, fungsi yang paling menonjol dari sistem TI pemilu dan hasilnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat adalah saat proses rekapitulasi perhitungan surat suara. Sebenarnya sangat disayangkan apabila sistem TI pemilu dengan alokasi anggaran yang relatif besar baru dieksploitasi untuk kebutuhan rekapitulasi perhitungan surat suara. Akan lebih disayangkan lagi jika pemanfaatan yang masih sangat minimalis ini pun tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal karena rentannya keamanan sistem TI pemilu sehingga berhasil dibobol oleh pihak yang tidak memiliki otoritas. Dalam rangkaian penyelenggaraan pemilu sejak era reformasi, sistem TI pemilu telah berhasil dijebol sebanyak tiga kali, yaitu pada masa pemilu 2004 dan 2009 serta yang terbaru saat pilkada 2018. Dampaknya, bukannya kepercayaan yang diperoleh, tetapi yang muncul adalah kekhawatiran dan kecurigaan masyarakat terhadap data hasil pemilu yang riskan untuk dilakukan perubahan. Kecepatan, ketepatan, apalagi efisiensi dalam proses penyelenggaraan pemilu sejak pendaftaran pemilih, distribusi logistik, pemungutan suara, penghitungan surat suara, hingga penetapan hasil ternyata juga belum ada perbaikan signifikan sejak diterapkannya sistem TI pemilu.

Teknologi rantai blok (blockchain) bisa dijadikan salah satu pilihan arsitektur sistem TI pemilu. Blockchain merupakan sebuah mekanisme penyimpanan data digital yang dirancang tahan terhadap berbagai upaya pengubahan (editing) data secara retroaktif. Setiap data yang akan direkam sebelumnya di-encode — diubah bentuknya menggunakan cara penyandian tertentu — dan diberikan kode hash — semacam stempel — yang berfungsi sebagai kunci pengaman. Rekaman data yang sudah di-encode dan diberi kode hash (di-stempel) ini selanjutnya akan ditambahi dengan kode hash dari rekaman data yang terakhir disimpan yang nantinya akan berfungsi sebagai pengait/perujuk (link) ke rekaman yang terakhir disimpan. Tiga elemen ini — rekaman data, kode hash (stempel), dan kode hash dari rekaman yang terakhir disimpan — dikemas menjadi satu entitas yang disebut blok. Terhadap setiap blok yang telah berhasil dibuat akan dikaitkan dengan blok yang terakhir disimpan dengan merujuk pada elemen ketiga dari blok tersebut — kode hash yang ditambahkan dalam blok tersebut — sehingga akhirnya akan membentuk sebuah rantai blok. Pengubahan terhadap data yang telah disimpan dalam suatu blok akan mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kode hash (stempel) dari blok dimana data tersebut disimpan, sehingga jika dipaksakan akan menyebabkan berubahnya link untuk blok pengikutnya dan menyebabkan putusnya seluruh rantai blok yang mengikutinya. Akibatnya seluruh rantai blok yang mengikuti akan dianggap invalid.

Mekanisme pengamanan lain yang diterapkan teknologi blockchain adalah model penyimpanan data yang terdesentralisasi dan terdistribusi. Model penyimpanan data ini berlawanan dengan model penyimpanan terpusat (centralized) yang umum dipakai saat ini dimana seluruh data disimpan dalam sebuah pangkalan data (data center) dan seluruh akses terhadap data diproses oleh server pangkalan data tersebut. Dalam arsitektur blockchain, seluruh rantai blok akan disimpan di banyak pangkalan data yang berpartisipasi dalam jaringan blockchain.

Model penyimpanan data blockchain yang terdesentralisasi dan terdistribusi ini diharapkan dapat menjadi solusi alternatif terhadap permasalahan sistem TI pemilu, yaitu rendahnya kapasitas server pangkalan data dan lemahnya keamanan sistem. Pada model penyimpanan terpusat, seluruh akses terhadap data harus diproses di server pangkalan data yang terbatas jumlahnya. Akibatnya, akses akan melambat ketika server “kebanjiran” pengunjung, entah karena memang sedang banyak pengunjung riil atau karena dibanjiri oleh pengunjung fiktif yang direkayasa pihak tertentu misalnya melalui serangan Distributed Denial of Services (DDoS). Dengan model penyimpanan blockchain, akses tidak akan terkonsentrasi di satu titik (node), sehingga beban setiap server tidak akan berlebihan. Peluang terjadinya serangan semacam DDoS yang mampu menjangkau seluruh server dalam jaringan blockchain menjadi jauh lebih kecil.

Strategi implementasi blockchain untuk sistem TI pemilu dapat dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, blockchain bisa diterapkan untuk sistem rekapitulasi perhitungan surat suara. Implementasi ini sekaligus dipakai sebagai alat ukur terhadap kapasitas dan kapabilitas kelembagaan penyelenggara pemilu dalam mendayagunakan sistem TI. Tahap ini bisa diawali pada Pemilu 2019.

Pada tahap kedua, blockchain dapat diterapkan untuk sistem pendaftaran pemilih elektronik. Pada tahap ini, penyelenggara pemilu perlu bermitra intensif dengan Kementerian Dalam Negeri selaku pengelola data kependudukan. Hingga saat ini penyimpanan data kependudukan masih memakai model terpusat, sehingga secara teknis memiliki potensi kerentanan yang sama dengan sistem rekapitulasi perhitungan surat suara KPU saat ini. Sistem pendaftaran pemilih yang aman, transparan, dan akuntabel tentunya akan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu. Tahap ini seharusnya bisa dimulai pada pemilu 2024.

Pada tahap ketiga, blockchain bisa diimplementasikan untuk sistem pemungutan suara elektronik. Implementasi ini jelas paling menantang dan diprediksi memiliki hambatan non-teknis paling besar. Strategi penerapannya bisa dilakukan secara bertahap, dimulai dari pilkada untuk pemilihan bupati/walikota daerah kecil dan pelan-pelan dilanjutkan untuk daerah yang lebih luas cakupannya. Tahap ini semestinya dapat diinisiasi mulai pemilu 2029. Pada level ini, sistem TI pemilu diharapkan mampu memberikan kemajuan yang signifikan terhadap proses penyelenggaraan pemilu. Proses distribusi logistik, pemungutan suara, dan tentu saja perhitungan suara pemilih dapat lebih efisien dan cepat. Semua upaya ini tentunya dilakukan dalam kerangka untuk meningkatkan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu.

Oleh :Agung Fatwanto (Dosen Magister Informatika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Kolom Terpopuler