Pembangunan Kampus II UIN Suka, Kedepankan Spiritualitas agar Berkah
Kepala BPIP dan Rektor UIN Sunan Kalijaga dalam Seminar "Spiritualitas Pembangunan Kampus II," di gedung Prof. Saifuddin Zuhri.
UIN Sunan Kalijaga bertekad segera membangun kampus II yang berlokasi di tanah Pajangan, Kabupaten Bantul. Namun meskipun terkesan harus segera, pembangunan kampus II UIN Sunan Kalijaga harus terencana dengan matang. Pengembangan kampus bukan hanya soal ketersediaan dana. Tetapi perlu didahului doa-doa yang tulus dari semua. Perlu juga dipertimbangan semua unsur alam (air, udara, api, angin dan seterusnya), sehingga pembangunan tidak menyalahi keseimbangan alam. Lalu semangat mengedepankan kelestarian lingkungan, ekosistem, situs-situs kepahlawanan yang ada di lokasi kampus agar kampus memiliki nilai sejarah dan simbul kepahlawanan, mata air, juga perhitungan bintang sirius. Sehingga pembangunan kampus II nanti tidak salah langkah dan membawa berkah untuk semua.
Baca juga:Warga Bantul Nantikan Kampus II UIN Sunan Kalijaga
Hal tersebut disampaikan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Al Makin, saat membuka Seminar bertajuk “Spiritualitas Pembangunan Kampus II,” di gedung Prof. Saifuddin Zuhri, 24/5/2021. Seminar kali ini mengundang para sesepuh kampus untuk menyampaikan arahannya kepada tim pengembangan kampus yang akan segera dibentuk, diketuai oleh Rektor, dan beranggotakan semua unsur pimpinan di kampus ini. Nara sumber kali ini yakni; Rektor UIN Sunan Kalijaga periode 2015 s/d 2020, yang saat ini menjabat sebagai Kepala BPIP, Prof. K.H. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D., dan Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga, Prof. Siswanto Masruri, MA. Lebih lanjut Prof. Al Makin menyampaikan, seminar ini menjadi forum penting untuk mendengarkan nasehat dan spirit dari para pemimpin UIN Sunan Kalijaga terdahulu, agar semua yang terlibat dalam tim pengembangan kampus II memahami apa yang harus dipersiapkan dan dilakukan sebelum pembangunan dimulai.
Seminar kali ini dimoderatori oleh Achmad Uzair, S.IP., M.A, Ph.D., Dosen Fakultas Sosial Humaniora, yang saat ini menjadi staf ahli Kepala BPIP. Dalam arahannya, Prof. K.H. Yudian Wahyudi antara lain mengajak hadirin untuk memaknai ulang tafsir tentang Ibadah ritual shalat. Setidaknya ada dua hal yang perlu diberi pemaknaan ulang: Sholat dan Surga. Menurut Prof. Yudian Wahyudi, Sholat beserta wudlu sesungguhnya bukan hanya bermakna sebagai ibadah vertikal. Sholat merupakan simbul ketaatan kepada Allah SWT dan berimplementasi akidah. Shalat wajib sehari-semalan yang setidaknya mengharuskan sujud sebanyak 35 kali, mengantarkan Muslim harus paling mencintai tanah dan air. Sementara wudlu selain sebagai simbul untuk mensucikan diri sebelum shalat, juga bermakna sebagai panggilan ekonomi karena mensyaratkan Muslim untuk dekat dengan sumber–sumber air sebagai simbol kemakmuran ekonomi agraris.
Prof. Yudian Wahyudi juga mengorientasikan surga / jannah ke bumi (fi al-ardh), tidak semata imajinasi selepas kematian. Fasilitas negara yang kita nikmati merupakan bukti bagian dari nikmat surga yang tidak boleh diingkari. Pencapaian-pencapaian konkrit di dunia inilah yang juga harus dikejar sebagai orientasi hidup dan kerja kita, agar bisa memakmurkan bumi dan memberi kemakmuran hidup bagi banyak orang sebagai pencapaian surga di bumi ini. Keberhasilan pencapaian-pencapaian tersebut tidak melulu dicapai dengan pendekatan linear. Sejarah perjuangan bangsa yang hanya bermodal bambu runcing namun mendapatkan kemerdekaan menunjukkan bahwa keberhasilan juga membutuhkan spiritualitas: doa dan sholat hajat.
Demikian juga dalam lingkup pengembangan kampus II UIN Sunan Kalijaga. Persiapkan dulu doa-doanya. Termasuk mendoakan para pendahulu, yang karena perjuangan mereka, masih dapat memberi penghidupan bagi generasi sekarang. Maka dokumen pertama untuk melakukan pembangunan kampus II adalah kuburan. Kenapa kuburan, agar semua yang ada di lingkup UIN Sunan Kalijaga setiap saat bisa mendoakan para syuhada kampus ini. Maka dalam pengembangan kampus nanti, makam, masjid, danau, pusat kuliner, dan pusat pembelanjaan harus menyatu dengan kampus. Kenapa Pusat perbelanjaan dan kuliner? agar kampus bisa memberi penghidupan bagi masyarakat sekitar kampus, kata Prof. Yudian Wahyudi.
Berbarengan dengan spiritualitas pembangunan kampus, perlu direncanakan dengan matang pengembangan SDM untuk melahirkan “nama-nama" sebagai wujud riil keberhasilan. Nama-nama yang dimaksud adalah kualifikasi institusi dan civitas akademikanya seperti yang dtetapkan peraturan perundangan. Dalam hal ini Prof. Yudian Wahyudi menawarkan Program Mahasantri. Konsepnya, dalam 7 semester awal sebelum belajar ilmu di bidangnya masing masing, para mahasiswa dibekali dulu ilmu agama, bahasa nasional dan internasional, serta kompetensi dasar yang harus dimiliki sebagai bagian dari Bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Tiga hal ini ditambah ketekunan dalam memanjatkan doa kepada Allah SWT, akan melahirkan para alumni yang dapat memiliki kekuasaan, rizqi, posisi, pekerjaan karena doa dan taqwanya, dan karena taat kepada negara, bukan dengan cara-cara yang tidak baik. Karena Taqwa dan taat pada negara-lah para alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dikaruniai al Jannah fil Ardh. “Kita ini Muslim paling beruntung yang hidup di negara Pancasila. Maka Nggak boleh melawan Negara. Tugas UIN Sunan Kalijaga melahirkan nama-nama yang bisa menguatkan negara. Kalau melawan negara, Allah juga akan murka,” demikian jelas Prof. Yudian Wahyudi.
Prof. Yudian mengingatkan bahwa dalam mengelola "jannah" dan privilege, perlu dicamkan agar mematuhi rambu-rambu. agar tidak terjadi "yufsidu fi al-ardh," seperti Adam dan Hawa yang melanggar hukum Allah di surga sehingga dikeluarkan dari “Surga,” tambahnya dengan memberi perumpamaan agar Muslim di Indonesia bisa memperoleh surga di bumi sekaligus di tempatkan di Surganya Allah di akherat kelak.
Pembangunan Gedung dibarengi Pembangunan SDM (Kolaborasi Intelektual dan Spiritual)
Sementara itu dalam arahannya Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, M.A., menyampaikan, pembangunan gedung secara fisik harus dibarengi dengan pembangunan non fisik yakni SDM. Terkait dengan pembangunan kampus II, SDM harus kolaboratif antara sisi intelektual dan spiritual antara otak dan hati. Proses intelektualisasi UIN harus tetap berjalan sesuai tuntutan kualitas, tuntutan dunia akademik tuntutan dunia kerja, tuntutan BAN-PT, tuntutan webometrik dsb. Tetapi spiritualisasi UIN khususnya kampus II UIN Sunan Kalijaga harus juga berjalan berkelindan dengan proses intelektualisasinya.
Prof. Siswanto mengajak hadirin untuk melihat kondisi saat 5 November 2012 dimana terjadi pertemuan konsultasi pembangunan kampus II UIN Sunan Kalijaga dengan Ngarso dalem Sri Sultan Hamengkubuwono di GedhongWilis,KompleksKepatihan. Saat itu yang hadir ada 19 orang dan menghasilkan 7 kesimpulan. Tapi ketujuhnya tidak dibacakan, hanya menyoroti pada poin nomor dua, yakni Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X mengarahkan lokasi yang lebih baik dan strategis yaitu Pajangan, Bantul. Ada empat hal yang menjadi pertimbangan Gubernur atau Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X ketika itu. Pertama, menumbuhkembangkan ekonomi masyarakat di kawasan Jogja Selatan. Kemudian akses ke jalur selatan lebih mudah dan akan ramai. Akses bandara lebih mudah, dan akan dikembangkan Bantul Kota Mandiri.
Prof. Siswanto melihat dari Sapen ke Pajangan jika disingkat menjadi Sapa. Maka, saat pembangunan, semua sivitas akademika diharap selalu saling menyapa antara satu dengan lainnya, sebab, komunikasi dan koordinasi dalam pengadaan tanah ataupun dalam pembangunan kampus II sangat penting, maka yang perlu disampaikan adalah harus saling menyapa dan tidak perlu saling padu antar elemen di UIN Sunan Kalijaga, agar tercipta keadaan yang harmonis.
Kampus II diharapkan betul-betul menjadi bangunan yang megah baik dari sisi gedung maupun SDMnya, kalau bisa menjadi objek wisata di Yogyakarta bagi masyarakat luas namun tetap memperhatikan aspek spiritualitas. “Jika kita sepakat bahwa spiritualitas menjadi jantung di UIN Sunan Kalijaga, maka masjid harus menjadi center point pembangunan. Enak dipandang dan nyaman digunakan, adaptif dengan lingkungan sekitar, namun jangan terjebak pada adagium we have religion but no spiritualism,” demikian harap Prof. Siswanto. (Weni/Ihza)