Seminar online Nasional Masa Depan Keilmuan Non Linier di Indonesia
Ketua Senat UIN Suka, Prof. Dr. H. Siswanto Masruri mengatakan, Linearitas dan monodisiplin keilmuan yang dikembangkan selama ini di Indonesia mengakibatkan pola pikir dikotomik. Perkembangan dan perubahan zaman menimbulkan banyak masalah baru bagi manusia sehingga memerlukan perubahan habit of mind dan inovasi. Misalkan kasus pandemi covid-19 menuntut pemecahan penyelesaian dengan multidisiplin ilmu. Permasalahan peradaban kekinian yang begitu komplek (kesenjangan, kemiskinan, ketidakadilan di semua bidang, kekerasan/bulying, pelecehan, radikalisme/terorisme, dan seterusnya) juga tidak akan bisa terselesaikan dengan baik, jika pendidikan perguruan tinggi masih berkutat pada linieritas keilmuan/tuntutan belajar keilmuan yang linier bagi setiap orang. Indonesia perlu mengambil langkah cepat untuk melahirkan kebijakan di bidang pengembangan keilmuan non linier, agar semua bidang keilmuan (Agama, Sains dan Teknologi, Sosial, Humaniora dan seterusnya) bisa saling bergandengan dengan luwes untuk menyelesaikan permasalahan kekinian dengan baik.
Hal tersebut disampaikan Prof. Siswanto Masruri saat membuka Seminar Nasional Virtual bertajuk “ Masa Depan Keilmuan Non Linier di Indonesia,” bertempat di ruang pertemuan Gedung Prof. Syaifuddin Zuhri, kampus setempat, selama 2 hari, 25-26/8/2020. Hadir sebagai Narasumber dalam forum ini; Guru Besar UIN Suka, Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, Guru Besar UGM, Prof. Drs. M. Mukhtasar Syamsuddin, Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sulistiyowati Irianto, dan Guru Besar UIN Suka, Prof. Dr. Iswandi Syahputra, 25/8/2020. Pada hari kedua menampilkan Keynote Speech Rektor UIN Suka, Prof. Dr. Phil Al Makin, MA., Narasumber; Guru Besar UIN Suka, Prof. Dr. Machasin, MA., Guru Besar ITB, Prof. Iwan Pranoto, M. Sc.
Melalui forum ini Senat UIN Sunan Kalijaga mencoba menyumbangkan pandangan dan pemikirannya. Linearitas keilmuan tentu ada sisi-sisi positifnya, tetapi non linearitas keilmuan dipastikan lebih kaya perspektif. Seperti pada masa pandemi covid-19, hampir semua orang dari berbagai bidang ilmu ingin mengetahui wabah ini dalam dunia kesehatan. “ Apalagi pada era digital, apa kemajuan yang terjadi di dunia teknologi” kata Siswanto. Menurut Siswanto saat ini, para ilmuwan tidak hanya menemukan teori, namun juga memberikan contoh konkret penerapan teorinya dengan adanya internet dan teknologi informasi, masyarakat lebih mudah percaya dengan berita dan video yang menyajikan kekongkretan suatu ilmu, meskipun beritanya belum teruji secara keilmuan. “Selain memperkaya lokalitas khasanah keilmuan bangsa Indonesia, keilmuan non-linier sepertinya akan lebih mampu membentengi masyarakat awam Indonesia dari berita hoax yang masif peredarannya. Betapa sering kita mendapatkan berita yang tidak teruji secara ilmiah, di sinilah keilmuan non-linier dapat memberikan sumbangsih pada dunia akademis dan masyarakat secara bersamaan.” Ungkap Prof. Siswanto Masruri.
Prof. Amin Abdullah menjelaskan era disrupsi karena revolusi industri 4.0 (digital platform) di negara-negara maju sangat berimbas ke tanah air. Seluruh disiplin keilmuan yang bersifat spesialis berlebihan mengalami disrupsi menghadapi perubahan sosial yang dahsyat akibat revolusi industri. Linearitas program studi menjadi mentah atau kadaluarsa, tidak cukup untuk memecahkan permasalahan kehidupan yang semakin kompleks saat ini. “Dan spesialisasi keilmuan yang berlebihan adalah jalan yang pasti kearah kematian dan kepunahan, ”kata Prof. Amin Abdullah. Prof. Amin Abdullah mengaplikasikan masa depan non-linearitas ilmu pada generasi ke-3 di perguruan tinggi cara atau model penelitian dan pembelajaran yang mampu menyatupadukan informasi, data, teknik, alat-alat, perspektif, konsep untuk memajukan pemahaman fundamental dan untuk memecahkan permasalahan tertentu yang pemecahannya berada di luar wilayah jangkauan satu disiplin ilmu tertentu atau wilayah praktik penelitian tertentu.
Sementara M.Mukhtasar Syamsuddin menjelaskan landasan linieritas bidang keilmuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Surat Edaran Kementrian Riset,Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 696/E.E3/MI/2014, terkait rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi kriteria disiplin ilmu yang dimiliki seorang dosen atau calon dosen. Dan untuk merespon itu semua perlunya mengembangkan ilmu non linier di masa depan dengan konsep pengembangan ilmu multidisipliner, metadisipliner, Interdisiplinier, persoalan keilmuan diselesaikan oleh beragam bidang keilmuan, penggunaan metodologi plural dengan metode masing-masing ilmu yang terlibat, prinsip penyatuan realitas ilmu pengetahuan sebagai kenyataan multidisipliner dan interdisipliner, pendekatan holistik dan mengusahakan semua disiplin berhubungan menjadi keseluruhan yang utuh” ucap Mukhtasar.
Sementara itu, dalam paparannya bertajuk “Studi Hukum Interdisiplin untuk Masa Depan Indonesia yang Lebih Adil,” Prof. Sulistiyowati menyampaikan, semua tidak pernah menduga bahwa perubahan sains dan teknologi digital dunia global yang sangat cepat berpengaruh terhadap semua bidang kehidupan. Menuntut kita untuk membuka cakrawala, belajar keras, menyesuaikan diri agar tidak tertinggal. Tidak terkecuali di bidang hukum. Penguasaan bidang hukum juga menuntut interdisiplinaritas hukum, sains dan teknologi. Tuntutan interdisiplinaritas di bidang hukum ini membawa dua kemungkinan; berakhirnya profesi hukum atau awal lahirnya profesi hukum baru.
Dijelaskan, kondisi masyarakat saat ini sudah semakin leluasa belajar melalui kemajuan sains dan teknologi digital, mereka tidak lagi butuh membayar ahli hukum yang begitu mahalnya untuk mendapatkan akses keadilan. Mereka cukup klik melalui teknologi digital untuk memperoleh literatur hukum dan lintas sains yang mendukung dalam upaya mendapatkan keadilan.
Maka ke depan, kata Prof. Sulistiyowati, eksistensi ilmu hukum membutuhkan kurikulum yang dapat melahirkan profesi hukum dengan pengetahuan dasar, keterampilan hukum yang kuat, penguasaan sains dan teknologi yang mendukung, memiliki etika menegakkan rule of law dan mampu membangun budaya berkeadilan, didukung metode pengajaran yang harus berubah ke arah off class, outreach, practice. Maka kebijakan linieritas keilmuan harus segera diakhiri, karena menjadi penghalang karier ilmuwan. Disamping itu juga berdampak pada lemahnya penggembangan kelembagaan di Indonesia, jelas Prof. Sulistiyowati.
Sementara itu, Prof. Iswandi dalam makalahnya “Pengembangan Keilmuan Non-Linieritas Antar Fakultas di Perguruan Tinggi” menjelaskan, Pasal 10 ayat 2 UU 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi menjelaskan tentang Rumpun Ilmu di Indonesia: Agama, Humaniora, Sosial, Alam, Formal, dan Terapan. Kepmen 257 tahun 2017 tentang Nama Program Studi, Permen 15 tahun 2017 juga tentang Nama Program Studi, Muncul untuk mengatur ‘rumah’ atau homebase bagi rumpun ilmu. SE. Dirjend DIKTI 87/E.E3/MI/2014 tentang Linieritas Ilmu, SE. Dirjend DIKTI 696/E.E3/MI/2014 tentang Linieritas Ilmu bagi Dosen. Muncul karena fenomena penerimaan dosen dan pembukaan program studi non linier. Mengatur pengertian liniertitas bidang ilmu sebagai: Beda cabang keilmuan, tapi dalam satu rumpun ilmu. Kenaikan GB berdasarkan riset publikasi internasional sesuai rumpun ilmu Pendidikan Doktor.
Kenyataannya linieritas keilmuan, berdampak pada home base, terutama karir akademik menjadi Guru Besar. Linieritas keilmuan juga menjadi penghambat administratif bagi yang ingin berkarier sebagai dosen/pengajar yang secara keilmuan bagus dan bisa berkembang lebih baik, sayangnya ilmunya tidak linier jadi tidak lolos menjadi dosen/pengajar.
Prof. Iswandi menjelaskan, Perguruan Tinggi perlu memahami tentang keilmuan non-linieritas perspektif konteks. Bahwa akselerasi dinamis berbagai sektor realitas, berimplikasi pada perubahan berbagai relasi, bahkan mengarah pada disrupsi. Akselerasi dinamis tersebut membawa serta keilmuan pada model pengembangan yang lebih integratif-interkonektif bahkan dapat menjadi destruktif. Perspektif ini adalah kepastian masa depan, bukan tentang saat ini, apalagi fenomena masa lalu.
Menurut Prof. Iswandi, dinamika pengembangan keilmuan muncul karena kompleksitas realitas keilmuan itu sendiri. Realitas sosial yang semakin kompleks membutuhkan pendekatan multi perspektif dari ragam keilmuan yang berbeda. Orientasi atau minat keilmuan dosen yang berubah dan berpindah. Atau ada dosen/akademisi yang memiliki kemampuan multi perspektif (terutama untuk rumpun keilmuan sosial-humaniora). Pengembangan keilmuan muncul sebagai fenomena karena pengembangan program studi multi disiplin. Hal ini berimplikasi punahnya ilmu pengetahuan monodisiplin karena berbagai desakan atau kebutuhan adanya pengetahuan multidisiplin. Fleksibilitas pengelolaan perguruan tinggi (program studi) yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan multidisplin. Fleksibilitas regulasi dan administrasi dalam hal pendirian program studi, karir akademik, kepangkatan dosen, disain riset, penilaian karya ilmiah, dll. Dari kondisi ini menurut Prof. Iswandi, pengembangan keilmuan dan pengajaran non linier, penelitian interdisiplin -multidisiplin – transdisiplin, pengabdian berbasis kebutuhan, berbasis integrasiinterkoneksi rumpun ilmu, berbasis multi task (satu tema, banyak daya) semua perguruan tinggi di Indonesia tidak bisa ditawar-tawar lagi. (Weni/Khabib)