Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Kehilangan Dosen Terbaik (Ahli Tasawuf)
Innalillahi wa Inaillaihi Roji’un, telah berpulang ke Hadirat Allah SWT, Dr. H. Syaifan Nur, M. Ag. Dosen Ilmu Tasawuh, Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam usia 58 tahun. Dosen yang selalu menghadirkan keakraban itu menghembuskan nafas terakhir, 29 Juni 2020, pada pukul 03.20 WIB di Rumah Sakit Dr. Sardjito, setelah di rawat beberapa saat karena sakit. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik untuknya, menerima segala amalnya dan mengampuni segala dosanya.
Dr. Syaifan Nur lahir di Aceh 18 Juli 1962. Selain menjadi dosen tasawuf di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) baik sarjana maupun magister sejak tahun 1988. Dr. Syaifan Nur masih aktif menjadi asesor BAN-PT sejak tahun 2010 dan Wakil Ketua Tim PAK di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan terakhirnya di kampus sebagai ketua Senat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam.
Selama menjadi ASN 32 tahun lamanya Dr. Syaifan Nur menempati jabatan akademik Lektor Kepala IV B. dan sedang mengikuti Percepatan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dan beragam kegiatan lain lewat IA Schoolar dengan mempersiapkan beberapa artikel untuk penerbitan di Jurnal Internasional.
Jenjang jabatan akademik yang tinggi tersebut melihatkan sosoknya yang selain pengajar juga aktif menulis baik dalam bentuk buku maupun jurnal. Salah satu Buku Karya Dr. Syaifan Nur adalah Filsafat Mulla Shadra yang diterbitkan Teraju tahun 2003. Artikel khas tasawuf juga diterbitkan di beragam jurnal ilmiah seperti Esensia (Jurnal Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam) dengan judul sufism of archipelago history, thought and movement. Tulisan tersebut bersama Prof. Dudung Abdurrahman tahun 2017.
Selain itu juga ditemukan tulisan beliau di jurnal Refleksi (jurnal prodi AFI) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam dalam beberapa kali tulisan. Tulisan pertama di tahun 2015 dengan judul Sufi Healing Praktek Pengobatan Spritual di Desa Cangkrep Kabupaten Purworejo. Sementara di tahun 2017 dengan judul Dialektika Filsafat Islam Sufistik Wujudiyah di Indonesia tahun 2017. Selang tiga tahun yakni tahun 2020 beliau juga menulis di jurnal tersebut dengan tajuk Jalan Iluminasi Mistisme Hazrat Inayat Khan (1882-1927).
Tulisan lain beliau dapat ditelusuri di Jurnal Kanz Philosopia tahun 2012 dan 2013. Kedua artikelnya adalah dengan judul Epistemologi dan Tanggung Jawab Ilmiah, Kritik atas Pemikiran Tasawuf al-Raniri.
Selain akademisi, Dr. Syaifan Nur juga mengembangkan kajian tasawuf praktis. Dr. Syaifan Nur aktif dengan tarekat yang dikembangkan oleh Abah Anom Suralaya. Pemikirannya banyak menjadi rujukan setiap pertemuan rutin kajian tasawuf di Yogyakarta.
Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran Islam tahun 2011-2014. Hanya menjabat selama 4 tahun karena ada kebijakan di UIN Sunan Kalijaga tentang pelantikan pejabat baru dekanat serentak berbarengan setelah pejabat rektor dilantik oleh Menteri Agama.
Dr. Abdul Rozaki, M. Si., salah satu mahasiswanya yang kini juga menjadi Dosen Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Suka mengenang kebersamaanya dengan Dr. Syaifan Nur menuturkan, bahwa dia pertama kali mengenal Sosok Dosennya ini saat mengikuti mata kuliah tasawuf yang diampunya di prodi aqidah dan filsafat fakultas ushuluddin. Mata kuliah yang barangkali mudah diwacanakan, namun tak mudah dihadirkan dalam tindakan. Namun dia melihat Pak Syaifan dapat menyatukan mata kuliah filsafat yang diampunya dalam pikiran dan laku hidupnya. Hal ini tampak dalam wajah yang selalu ceria, penuh senyum saat bertemu siapapun dan laku hidup penuh kesederhanaan.
Selepas mengajar di kelas, sebagaimana tradisi mahasiswa kala itu, selalu bersambung diskusi-diskusi informal lainnya. Dari situlah saling kenal, saling akrab terjalin. Mengetahui saya orang Madura, tanpa disangka Pak Syaifan langsung mengunakan bahasa Madura dan begitu seterusnya ketika bertemu dan menyapa saya. Semula, kukira ia orang Madura, ternyata beliau kelahiran Aceh. Mengapa sangat pandai bahasa Madura? Ternyata, saat semasa mahasiswa di Jogja kala itu, satu kos dengan orang Madura. Dari sinilah, saya memahami, betapa Pak Syaifan sosok orang yang mau belajar kebudayaan etnis lainnya.
Hal yang unik dari Pak Syaifan adalah suaranya yang merdu dan kesukaannya pada musik, terutama lagu-lagu dangdut Bang Haji Rhoma Irama. Saat ada kolega dosen tasyakuran, lalu ada pertunjukan musik, Pak Syaifan menyumbangkan beberapa lagu, saya terperanjat mendengarkan merdu suaranya yang menurut saya sudah selevel artis profesional. Ya, begitulah Pak Syaifan, merdu suara dan kepiawaianya menyanyikan lagu dangdut, hanya digunakannya untuk menghibur orang, dan bukan mengkomersilkannya. Barangkali ini bagian dari nilai-nila kesufian yang selalu menjadi pegangan hidupnya.
Walau telah berpulang, namun jejak akademiknya tampaknya akan abadi. Ia menekuni kajian tentang pemikiran Mulla Sadra, dan telah mempublikasikan karyanya itu dalam judul buku Filsafat Wujud Mulla Sadra. Dalam sampan pemikiran teosofi transenden, saya mengucapkan selamat bertemu Mulla Sadra dan bersamanya bertemu Allah SWT ya Pak Syaifan, demikian Abdul; Rozaki.
Dr. Syaifan Nur, M.Ag. meninggalkan seorang isteri Dra. Marfiyah dan dua orang anak. Salah seorang putrinya yang pertama sedang mengandung cucu beliau yang kabarnya kembar dua orang. Selamat jalan Pak Syaifan. Kesan kebaikan yang selalu ditaburkan menjadi kebaikan yang terus dikenang oleh mahasiswa, kolega dan kawan. (Weni)