Marhumah Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Prof. Marhumah saat memaparkan pemikirannya tentang Hadis Misoginis
Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA., mengukuhkan Prof. Dr. Marhumas, M. Pd. Sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hadis Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bertempat di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, SH., Kamis, 24/10/19. Marhumah dikukuhkan sebagai Guru Besar berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 00092/KEP/AA/15001/19. Dewan Pakar Muslimat NU DIY dan juga pengiat kesetaraan gender di Pusat Studi Wanita, UIN Sunan Kalijaga ini dikukuhkan setelah menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul “Hadis Misoginis: Resepsi, Negosiasi dan Pergolakan Pemikiran Antara Tradisi dan Modernitas di Indonesia,” dalam rapat senat terbuka yang dihadiri anggota senat universitas, Rektor UIN Sunan Kalijaga, segenap sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga, dan para tamu undangan lainnya.
Dalam orasinya Marhumah antara lain menyampaiakan bahwa dirinya terharu dapat menyampaikan pidato Guru Besar masih dalam suasana peringatan hari santri yang jatuh pada 22/10/19. Menurutnya ini bermakna penting terkait pergulatan dan perjuangan kaum santri (santriwan dan santriwati) untuk mengukuhkan pentingnya ilmu sebagai metode survivelitas yang paling canggih. Marhumah berharap ke depan semakin banyak kaum santri yang dapat meraih gelar Prof. KH. Dan Prof. Hj. Nyai.
Menurut Marhumah, thema orasi ilmiah yang diangkatnya ini sudah menjadi fokusnya sejak mengenyam pendidikan pesantren tahun 1970. Realitas yang dihadapi santri perempuan kala itu adalah tidak memiliki akses keilmuan yang setara dengan santri laki-laki. Sebagian besar santriwati dijodohkan pada usia muda dan tidak memiliki keleluasaan untuk mengenyam pendidikan di luar lingkup pesatren, apalagi sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Keterkungkungan wanita pesantren yang juga dialami Marhumah, membuat dirinya harus lari dari rumah agar bisa melanjutkan kuliah dan tidak dinikahkan pada usia muda.
Dijelaskan makna misogyny yang diangkat dalam karya orasi ilmiahnya adalah sikap kebencian terhadap perempuan (anti feminisme). Sementara itu hadis-hadis misogenis didefinisikan sebagai hadis-hadis yang mengandung makna kebencian, diskriminasi, menganggap perempuan lebih rendah derajadnya dibanding laki-laki. Hadis-hadis misogenis berhasil mengkonstruksi kerangka berpikir umat muslim dalam hegemoni budaya patriarki yang diskriminatif, marginalisasi, interpretasi yang bias gender, bahkan melegalkan kekerasan terhadap perempuan muslim.
Dalam perkembangannya, teks-teks hadis di pesantren secara epistemologi misogenis menempatkan perempuan dalam kelas sekunder. Seolah-olah epistemologi pengetahuan dirancang untuk mengendalikan perempuan. Pengetahuan hadis yang diajarkan dipesatren dan disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari menggabungkan hadis-hadis yang bias gender, meresap ke dalam semua mata pelajaran baik di pesantren, di sekolah, maupun madrasah.
Padahal hadis-hadis misoginis ini bertentangan dengan historisitas Nabi Muhammad yang sangat menyayangi dan menghormati perempuan sebagaimana terekam dalam kitab-kitab Sirah dan beberapa hadis sahih, jelas Marhumas.
Oleh karena itu, penting untuk memperkenalkan epistemologi yang sensitif gender, berkeadilan gender di dalam membaca dan memaknai teks teks keagamaan, khususnya hadis dalam kerangka pengetahuan pesantren. Karena pembacaan dan pemaknaan teks hadis yang berperspektif gender dapat berkontribusi bagi pemecahan masalah dan kebutuhan era kini yang menuntut peran perempuan yang lebih optimal. Menurut Marhumah, Islam era kini dituntut lebih toleran terhadap kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dengan membuka kesadaran Kyai, Nyai dan para guru. Sementara dari sisi pengembangan akademik, diperlukan strategi dan metode baru untuk menggeser pemaknaan hadis misogenik-bias gender ke arah pemaknaan yang inklusif-kesetaraan gender, yakni dengan pendekatan interdisipliner (sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, dan seterusnya) dan mengakomodasi prinsip-prinsip maqashid al-syari’ah. Sehingga otoritas-otoritas laki-laki dapat merasa akrab dan tidak tersinggung dengan pemaknaan baru dan tidak menganggapnya sebagai tidak Islami dan menimbulkan masalah. Tetapi dapat merubah masalah menjadi maslahah sejalan dengan visi profetik dalam Islam. Untuk model pembelajaran bersifat dialogis dan terbuka, agar menghasilkan generasi yang lebih terbuka dan berkeadilan gender baik dalam keluarga, kemitraan sampai kepada komunitas yang luas.
Sementara itu, dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam rangka mengimplementasikan Islam yang Rahmatan Lil Alamin tidak bisa hanya sebatas wacana, diskursus dan pemaknaan saja, tetapi berlanjut pada gerakan dalam rangka pengarusutamakan visi Islam berkeadilan gender. Sehingga banyak dikembangkan lembaga-lembaga studi dan advokasi, seperti: Rifka Anisa, Rahima, Fahmina, rumah kitab, program-program nyata hasil keputusan kongres ulama perempuan Indonesia, pusat studi wanita di berbagai perguruan tinggi, termasuk di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasilnya dapat dilihat, kini perempuan Muslim telah memiliki kebebasan yang cukup untuk mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya dan peran publik di luar keluarga yang setara dengan laki-laki. Namun begitu, masih banyak PR yang harus terus diperjuangan banyak pihak, agar kesetaraan gender tidak membawa dampak negatif atau efek samping yang membahayakan keharmonisan peradaban.
Menanggapi orasi ilmiah Prof. Marhumah, Prof. Yudian Wahyudi menyampaikan bahwasanya di satu sisi kondrat wanita hanyalah melahirkan dan menyusui. Selebihnya adalah bentukan tradisi dan budaya masa lalu yang membelenggu perempuan untuk bisa berbuat dan beramal lebih banyak. Di sisi lain bahwa sesungguhnya laki-laki hanyalah lebih kuat dari perempuan dari sisi fisik. Oleh karena itu bila diberi kesempatan yang sama, perempuan bisa lebih unggul dari laki-laki bahkan lebih hebat dari laki-laki. Islam memayungi bahwa laki-laki dan perempuan adalah sederajad. Oleh karena itu perlu terus ditumbuhkan adanya komitmen bersama antara laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan hubungan keduanya untuk menuntut ilmu bersama-sama, sehingga bisa semakin banyak melahirkan nama-nama keahlian di semua bidang demi kemajuan dan keharmonisan peradaban. (Weni/ Doni)