FDK UIN Suka Selenggarakan Konferensi Dakwah Internasional
Panitia IDACON Berkunjung ke Kantor SKH Kedaulatan Rakyat
Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi tuan rumah 3rd International Da'wah Conference (iDACON) 2019 dengan tema “The Global Challenges of Da'wah: Political Identity, Humanity, and Inclusive Democracy”. Kegiatan ini akan berlangsung 23/10/19 di Convention Hall/ Gedung Prof. RHA. Soenarjo, kampus barat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Forum ini akan menghadirkan beberapa narasumber, baik dari kalangan akademisi internal seperti Prof. KH. Yudian Wahyudi, Ph.D., dan Alimatul Qibtiyah, Ph.D., dan juga akademisi dari beberapa negara Asia Tenggara seperti Dr. Abdulroya Panaemalae (Walailak University Thailand), Prof. Dr. Ahmad Tarmizi Talib dan Prof. Dr. Sarjit Singh (Universiti Putra Malaysia).
Menurut Sekretaris Pelaksana iDACON 2019, Bayu Mitra A Kusuma, latar belakang penyelenggaraan konferensi internasional ini adalah adanya instabilitas sosial politik Indonesia yang telah memasuki dekade kedua pasca reformasi. Lebih-lebih melihat kondisi umat dalam hingar bingar kontestasi pemilu yang baru saja berlalu.
“Kita berharap demokrasi akan tumbuh secara lebih dewasa. Meski harus diakui bahwa kualitas demokrasi kita justru mengalami kemunduran dengan semakin menguatnya politik identitas berbasis isu keagamaan sebagai komoditas mendulang dukungan”, kata Bayu dalam rilis yang diterbitkan oleh pihak fakultas.
Ia mencontohkan, kegiatan dakwah kini kerap digunakan sebagai kedok kampanye ataupun penyebaran ideologi tertentu sehingga seolah agama menjadi tidak inklusif, tidak humanis, dan sangat rentan untuk diseret sebagai alat politik.
“Saat ini masih banyak orang beragama dengan melibatkan emosi yang dominan untuk membangun keimanannya, bukan dengan mengasah kedalaman hati nurasi dan ketajaman berpikir. Sehingga ketika emosi tersentuh dengan isu agama, maka respons mereka akan begitu cepat dan masif”, paparnya.
Akibatnya politisasi agama serta penyusupan ideologi yang menyertai dianggap sebagai alat mobilisasi massa yang sangat efektif. “Fenomena di atas menggambarkan situasi bahwa demokrasi kita tak lagi inklusif karena penggunaan isu agama didominasi oleh kelompok tertentu yang politis, cenderung konservatif, dan menjustifikasi bahwa yang berbeda dengannya adalah salah”, ungkapnya.
Melalui konferensi dakwah internasional ketiga ini akan coba dipetakan peluang dan tantangan keagamaan global di masa mendatang. “Harapannya tentu para akademisi dan praktisi dakwah di berbagai penjuru dunia mampu berperan aktif dalam proses transformasi sosial untukmembangun peradaban yang lebih inklusif dan humanis atas dasar nilai nilai Islam yang Rahmatan Lil Alamin,” demikian harap Bayu. (Weni)