Prof. Sangkot Sirait Dikukuhkan Sebagai Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Bidang Ilmu Kalam
Prof. Sangkot terharu usai menyampaikan Pidato Guru Besar, tidak meyangka bisa bergabung sebagai anggota Senat Universitas
Prof. Dr. Sangkot Sirait, M. Ag. Dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bidang Ilmu Kalam, bertempat di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, SH., Jum’at, 28/9/19. Prof. Sangkot dikukuhkan oleh Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnaen, M. Ag., usai menyampaikan orasinya berjudul “Ilmu Kalam dan Keberagamaan Fungsional,” di hadapan Rapat Senat Terbuka yang dihadiri Rektor UINN Sunan Kalijaga, Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D., para wakil rektor dan anggota senat universitas, dan segenap sivitas akademika UINN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam orasinya Prof. Sangkot Sirait antara lain menjelaskan, dalam perkembangan akademik studi ke-Islaman Ilmu Kalam tidak sepopuler disiplin ilmu lain dalam keilmuan Islam seperti: Ilmu Hadis, Ilmu Tafsir, Sejarah Kebudayaan Islam, Fikih, Ilmu Tauhid, Akhlak ataupun Tasawuf. Di awal penyusunan Struktur kurikulum pendidikan agama Islam dulu dinamakan Dirasah Islamiah. Dalam kurikulum Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang saat ini sedang di kembangkan di linkup Kementerian Agama, Ilmu Kalam menjadi bagian dari Ilmu Tauhid. Sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Kalam, Prof. Sangkot Sirait dengan tegas memaksai Ilmu Kalam sebagai Ilmu yang berisi tentang pengakuan terhadap eksistensi ketuhanan dan logika keyakinan dalam konteks Islam. Jadi aspek rasionalisme mendominasi makna pengakuan terhadap eksistensi Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa.
Dijelaskan, kajian Ilmu Kalam didominasi oleh 2 hal pokok, yakni: mempertahankan keabsahan sebuah keyakinan dan membuktikannya dengan kerangka logik. Misalnya Rukun Iman, cukuplah diyakinim kemudian diteguhkan dengan logika (akal). Kajiannya tentang realitas keyakinan yang hidup dan keberagamaan fungsional. Menurut Prof. Sangkot Sirait, pokok kajian dalam Ilmu Kalam ini salah satunya didasarkan pada Q.S. Al- ‘Ashr yang dilukiskan betapa manusia banyak merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih, saling menasehati tentang kebenaran dan kesabaran. Sementara amal shalih dalam keberagamaan fungsional dimaknai dalam konteks ekspresi keberimanan (‘aqidah) seorang muslim hingga dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan bagi banyak orang (amanu (iman) berada pada wilayah prifasi, dan amilusshalihat berada pada wilayah publik. Maka umat manusia bisa dikatakan beruntung jika bisa memadukan keduannya.
Agar Ilmu Kalam selalu relevan dengan perkembangan jaman dan dapat berkontribusi langsung terhadap persoalan kemanusiaan, diperlukan pendekatan interdisiplin keilmuan seperti; Sosiologi, Antropologi, Etika, Ilmu Humanities dan seterusnya. Pendekatan sosiologi atau historis misalnya, akan membantu seseorang untuk melihat dimana titik temu agama-agama Samawi, serta dimana dan kapan mulai justru terjadi konflik antara penganut agama. Demikian juga halnya dengan bagaimana memaknai iman kepada Kitab Suci. Banyak umat Muslim terjebak pada pandangan hanya Iman kepada Al Qur’an saja. Artinya sudah terjadi reduksi dari iman kepada Kitab Suci menjadi Iman kepada Qur’an saja. Jika cara memahami rukun iman yang tereduksi berlangsung tanpa perbaikan, maka kecil kemungkinan akan terwujud pemahaman keagamaan fungsional, baik itu yang disebut inklusi, pluralism, ataupun multikultural.
Menurut Prof. Sangkot Sirait, pada era kekinian, melalui kajian-kajian pembelajaran Ilmu Kalam harusnya memberikan basil bahwa keyakinan tauhid dan kebermaknaan hidup tidak bisa dipisahkan. Pemahaman seperti itu akan membuat keberagamaan umat Muslim lebih inklisif, toleran dan pengertian terhadap kelompok lain.
Keterkaitan Ilmu Kalam dan Keberagamaan Fungsional.
Prof. Sangkot Sirait menjelaskan, seseorang atau komunitas memaknai kegiatan keagamaannya lebih kepada fungsi dan kebermaknaannya ketimbang antraktif semata itu artinya beragama fungsional. Jika Ilmu Kalam ingin masuk ke ranah fungsional, maka penghayatan tentang iman yang didasarkan pada Qur’an dan Hadis Sahih didasari pada pemahaman bahwa Ayat-Ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad turun ke dunia tidak ada yang terlepas dari konteks kehidupan manusia. Masing-masing pasti terkait dengan kemanusiaan, pemenuhan kebutuhan manusia, dan seluruh isi alam. Jika ditarik ke era kini, ekpresi iman semestinya juga merupakan respon atas kebutuhan manusia dan alam pada saat ini juga. Dalam konteks fakta budaya, perlunya memahami bahwa sasaran Qur’an adalah manusia sebagai subyek yang aktif. Tentunya sebagai subyek yang aktif, umat Muslim yang beriman punya kesempatan dan otoritas untuk melakukan sesuatu yang bermakna bagi manusia lain. Bukan sebatas ekspresi pemuas batin, tentang kebenaran dari Tuhan. Seorang yang beriman di era kini, yang hidup di era yang cepat berubah, harus selalu siap menjadi manusia baru. Dengan selalu siap menjadi manusia baru, maka ia akan selalu menjadi kuat melakukan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
Bagaimana Ilmu Kalam memaknai klaim kebenaran? Menurut Prof. Sangkot Sirait, seseorang menganut agama Allah, pastilah ia mengklaim agamanya paling benar. Namun klaian kebenaran agama Islam misalnya, itu sangat personal, tetapi ekspresinya dapat dibagi-bagi. Jadi klain kebenaran semestinya tidak menjadi penghalang untuk menerima ekspresi kebenaran pemahaman penganut agama lain. Agar bisa memperluas ruang gerak penganut agama, seperti juga penganut agama Islam, pada tataran fungsional realitas kehidupan/dataran sosial.
Dengan memahami paparan orasi ilmiah ini, Kata Prof. Sangkot Sirait, seorang guru atau pendakwah agama Islam yang menyampaikan ajaran ilmu tauhid harusnya hati-hati dalam mengajarkannya. Harus ada keseimbangan antara emosi (hati), rasio (nalar), metodologi dan implementasi. Tidak boleh salah satu mendominasi yang lain. Jika itu terjadi, masih aka nada yel-yel di lembaga pendidikan Islam: “Islam, Islam yes, kafir, kafir no. Atau masih aka nada orang Islam yang mengucapkan kalimat mulia “Allahu Akbar, yang semestinya menunduk kepala menghadap bumi, sekarang berubah dengan wajah yang penuh emosi, mengepalkan tangan, sambil menatap tajam ke depan, Wallahu a’lam, itulah ekspresi, jelas Prof. Sangkot Sirait. (Weni/Doni)