Annual International Converence On Social Sciences And Humanities Fakultas Isoshum UIN Suka (Revolusi 4.0: Religiusitas, Identitas, dan Perubahan Sosial)
Prof. Yudian Wahyudi saat memberi materi pada acara AICoSH
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi mengatakan, ada dua hal penting yang harus segara disikapi oleh Perguruan Tinggi Islam dalam rangka memajukan dunia Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara memasuki era industri 4.0. Yang pertama; bagi dunia Islam, Revolusi Industri 4.0 menuntut adaptasi yang sangat serius, berkelanjutan dan akurat, agar eksistensi Islam tidak tergilas oleh revolusi Industri 4.0, yang ditandai dengan pesatnya perkembangandigital sciences.
Hal tersebut disampaikan Prof. Yudian Wahyudi saat membuka acara konferensi internasional(Annual International Converence on Social Science and Humanities-AICoSH)yang diselenggarakan oleh Fakultas Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bertempat di Ballroom, Hotel Saphir, Jl. Marsda Adisucipto, Yogyakarta, Selasa, 25/6/2019. Forum konferensi internasional kali ini berlangsung selama 3 hari (25 s/d 27/6/19), mengusung tema“Revolusi 4.0: Religiusitas, Identitas, dan Perubahan Sosial”
Menurut Prof. Yudian Wahyudi, forum keilmuan sosial dan humaniora kali ini harus mampu melakukan langkah langkah adaptasi dari sisi religius, sosial dan humaniora untuk mensikapi perubahan yang sangat cepat. Era industri 4.0 diharapkan dapat menjadi jembatan untuk mengantarkan keberhasilan dunia Islam baik pada level fakultas, universitas sampai pada tingkat kebangsaan yakni Indonesia.
Menurut Prof. Yudian Wahyudi, bangsa Indonesia, dan juga masyarakat Asia Tenggara merupakan bangsa yang terlama tergilas anak-anak revolusi Industri (terutama umat Islam, yang notabene adalah mayoritas). Dimulai dari dunia Arab dan Spanyol. Hal itu karena Islam sibuk berkutat belajar Qur’an dan Hadis secara tekstual dan dogmatis, dan membuangeksperimental sciences(kimia, fisika, teknik, ilmu kedokteran dan seterusnya). Umat Islam pinter agama tetapi dalam bahasa ekonomi tidak memiliki keahlian cara produksi. Jadi hidupnya mengawang-awang. Sekarang kita menyadari perlunya agar sejarah menyedihkan umat Islam tidak terulang kembali. Era Industri 4.0 ini, kalau kita bisa mensikapi, kita bisa melompat ke atas, tidak harus mengulang dari bawah. Karena prinsipnya ilmu itu siapa yang mau belajar. Kalau dulu akses serba terbatas, tetapi dengan 4.0, siapapun bisa menguasai pasar kalau mau belajar.
Oleh karena itu Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara perlu mengubah mindset keberagamaan melalui revormulasi keagamaan kita, identitas kita, sosial politik kebangsaan kita. Kalau itu bisa dilakukan tidak mustahil Islam di Indonesia bisa menjadi pelopor kemajuan peradaban setidaknya di Asia Tenggara, kalau bisa sampai ke tingkat Internasional. Islam yang meraih kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tetap mempertahankan nilai-nilai agama yang rahmat.
Yang kedua; Adanya tuntutan akreditasi perguruan tinggi Internasional yang menetapkan 9 kriteria. 40% dari 9 kriteria merupakan komponen prestasi internasional yang harus bisa dicapai oleh perguruan tinggi. Kalau itu tidak bisa dilakukan perguruan tinggi akan mengalami kemunduran. Lulusannya tidak akan mampu beradaptasi memenangkan kompetisi di pasar global. Untuk memenuhi harapan itu, perlu adanya diskusi-diskusi mengundang banyak pakar baik dari dalam dan luar negeri untuk mencapai kriteria internasional. Ke depan, UIN Sunan Kalijaga akan sering menjadi tuan rumah forum forum internasional seperti ini, agar semakin di kenal dan eksis di level internasional hingga tercapai target UIN Sunan Kalijaga sebagaiWorld Class University.
Dekan Fakultas Sosial Humaniora, UIN Sunan Kalijaga menambahkan, melalui forum ini pihaknya bermaksud menggelorakan narasi moderat dan jalan tengah dalam pembacaan agama di tengah tengah penguatan identitas. Berbagai hasil riset yang di paparkan di forum ini diharapkan bisa mengungkap bahwa agama seharusnya ditempakan dalam ruang moral yang mampu menjadi panduan Etik para pemeluknya. Terlebih lagi di era revolusi 4.0, peran Etis agama harus dikedepankan dibandingkan fungsi-fingsi politik agama. FISHUM UIN Suka melalui acaraAICOSHingin Lebih berperan aktif dalam konteks yang Lebih luas dalam menyebarkan Islam yang transformatif.
Sementara itu Fajar Iqbal M.Si., dalam laporannya antara lain menyampaikan, ForumAICOSHini merupakan penyelenggarakan yang pertama di Fakultas Isoshum, UIN Sunan Kalijaga yang langsung mendapat tanggapan peserta yang luar biasa. Hal itu dapat dapat dilihat dengan ratusan peserta dari 5 negara: India, Turki, Philipina, Singapura, dan Indonesia. Sementara itu, ada 120 partisipan yang akan mempresentasikan hasil-hasil riset dari negara masing-masing, yang dikelompokkan dalam tiga sub tema dipayungi oleh tiga Prodi yang ada di Fakultas Isoshum (Prodi Sosiologi, Prodi Komunikasi dan Prodi Psikologi). Prodi Sosiologi mengkoordinasikan pemaparan dalam sub-sub tema:Religion and Social Transformation, Religion and Political Identity, Islamic Populism, Religion and Collective Violence, Youth and Peace Movement, Religion, Women and Juctice, Religion, Democration, and Citizenship, The Rice of Islamic Middle Class and Social Change. Prodi Ilmu Komunikasi memaparkan sub-sub tema:New Media and Identity, New Media and Participatory Culture, Mommunication and Gender, Marketing Communication and IR 4.0, Digital Literation, New Media and Politics, Challenge on Islamic Communication ind Milennials Ela, Digital Religion Practices on Muslim Youth.Sedangkan Psikologi menjabarkan sub-sub tema:Religion and Mental Health, Religion and The Workplace, Religion and Positive Psychology for Stengthening Families and Societies, Religion in Applied Psychology.Pemaparan sub-sub tema berlangsung di kampus fakultas Isoshum (26/6/19).
Sementara, hari pertamaAICOSHmenampilkan paparan sembilan narasumber; Prof. Noor Aisha(Peneliti dan akademisiNational University of Singapore),Prof. Dr. Ibnu Hamad., M.Si.(University of Indonesia),Assoc. Prof. Macrina A. Morados(University of the Philippines),Achmad Zainal Arifin M.A., Ph.D.(Islamic State University Sunan Kalijaga),Dr. Azhar Ibrahim(National University of Singapore),Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D.(Gadjah Mada University),Prof. Ronald Lukens Bull(University of North Florida),Dr. Diah Ajeng Purwani(Islamic State University Sunan Kalijaga),M. Johan Nasrul Huda, M. Psi(Islamic State University Sunan Kalijaga).
Prof. Noor Aisha dalam paparannya tentang implementasi hukum Islam di Asia Tenggara, menyoroti bahwa hukum Islam masih dipegang teguh oleh umat Islam di Asia Tenggara. Namun dalam perkembangan jaman, hukum umum berkembang pesat, hukum Islam cenderung stagnan dan tidak mengalami perubahan kontekstual yang signifikan. Ketimpangan itu mengakibatkan adanya gesekan dan konflik antara kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda. Prof. Aisha menyimpulkan, permasalahan terbesar yang dihadapi umat Muslim, bukan terletak pada hukum Islam, tetapi cenderung pada pola pikir umat Muslim yang kaku dan tertutup pada perubahan dan itu dimonopoli oleh tokoh-tokoh agama dengan pengikut yang jumlahnya tinggi. Itulah yang mengakibatkan sebagian besar umat Islam terkungkung, tidak mampu mengikuti jaman dan tidak siap ikut serta menyelesaikan permasalahan era kekinian.
Prof. Ibnu Hammad menyoroti politik identitas yang mengatasnamakan agama, yang selalu mewarnai demokrasi di Indonesia. Yang baru saja terjadi adalah dalam konteks pilpres 2019. Kubu capres 01 menunjukkan politik identitas dari golongan NU, sementara 02 muncul politik identitas dari adanya Ijtima ulama. Dengan adanya politik identitas yang mengatasnamakan kebenaran agama itu, menuntut umat Islam berpikir mendalam dan memahami secara teliti, agar iklim, lansekap dan arah politik di Indonesia mengarah pada kemaslahatan bangsa Indonesia yang semakin baik.
Prof. Macrina Morados memaparkan tentang konstruk psikologis yang dipahami oleh kelompok ekstrimisme. Dijelaskan, cara menyampaikan ilmu dan dakwah dalam Islam amatlah beragam. Kelompok ekstrimis di Philipina mengambil cara yang salah dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an yang berhubungan dengan jihad. Ironisnya, mereka memandang diri sebagai penyelamat yang dikirim Tuhan untuk memurnikan dunia dan menghilangkan praktik-praktik yang mereka nilai berdosa. Hingga memberi mereka legitimasi dan pembenaran atas tidak kekerasan mereka dengan atas nama agama.
Achmad Zainal Arifin memaparkan upayanya dalam mengenalkan tarian sufi dan keajaiban dari Allah dalam Islam sampai ke kafe-kafe untuk membangun kondisi kaum muda agar mencintai cara ber-Islam sampai ke lubuk hati yang paling dalam. Azhar Ibrahim memaparkan kontribusi kaum cendekiawan Muslim di Indonesia dalam mengenalkan Islam transformatif dengan mengangkat tokoh Mansoer Fakih dan Muslim Abdurrahman. Prof. Koentjoro memaparkan perihal perubahan sosial, revolusi industri dan pengaruhnya terhadap perilaku manusia dan lingkungan sosial. Diah Ajeng memaparkan tentang bagaimana membangun strategi komunikasi yang tepat di era revolusi 4.0. M. Johan Nasrul Huda memaparkan tentang bagaimana kearifan lokal Jawa turut mewarnai harmoni nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. (Weni/Khabib)